BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah
Ekspedisi militer
yag dilakukan oleh Raja Iskandar Zulkarnain ( 356-326 S.M ) dari Macedonia ke kawasan Asia
dan Afrika Utara pada permulaan abad keemat sebelum Masehi merupakan suatu
peristiwa sejarah yang sangat penting, tidak saja dari segi militer, tapi juga
dari segi kebudayaan. Para penyerbu itu tidak
hanya tertera sejumlah, tapi juga sejumlah para ilmuan dan cendekiawan turut
serta. Lewat mereka inilah kebudayaan dan ilmu pengetahuan Yunani tersebar luas
di daerah-daerah penaklukan, sehingga telah melahirkan suatu kebudayaan baru
yang disebut kebudayaan Hellenisme, suatu kebudayaan campuran antara
kebudayaan Yunani dengan kebudayaan lain yang terdapat dikawasan itu, terutama
di Asia kecil. Berbagai pusat studi ilmu
dan falsafahYunani telah didirikan, yang tidak hanya terbatas pada pendalaman
kajian warisan bangsa tersebut, tapi juga berbagai peninggalan karya tulis dari
para ilmuan dan filosofnya dialihbahaskan. Diantara pusat-pusat studi kebudayaan
Yunani terpenting terdapat di Iskandariah ( Mesir ), Harran, Urfa
( Raha ), Nusaibain, Jundaisabur dan Bagdad .
BAB II
IBN MASKAWAIH
A. SEJARAH HIDUP
DAN KARYA
Tidak banyak diketahui orang tentang sejarah hidup Ibn Maskawaih
karna kelangkaan beritan dan riwayat yang disebut oleh para penulis sejarahnya
dalam kitab-kitab rujukan. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad ibn Muhammad
ibn Ya’qub ibn Maskawaih. Dilahirkan dikota Rey pada tahun 330 H. dan meninggal
di Ashfahan pada tahun 421 H. / 1030 M.[1]
Sebelum menganut
islam, Ibn Maskawaih menganut agama Majusi dan setalah menganut agama Islam, ia
merupakan sarjana yang taat dan mendalam pengetahuan keislamannya. Diduga ia
seorang penganut Syi’ah karna sebagian besar umurnya dihabiskan dalam mengabdi
para menteri Syi’ah dalam zaman pemerintahan Bani Buwaih yang dimulai pada
tahun 320 H. sampai dengan tahun 448 H.
Demikianlah situasi dimana zaman Ibn Maskawaih
menghabiskan sebagian besar umurnya, sehingga ia mampu memanfaatkan keadaan itu
untuk memperkaya diri dengan berbagai ilmu pengetahuan. Perhatiannya lebih
besar diberikan kepada masalah ahklak, sehingga ia dikenal sebagai seorang
pemikir dalam bidang ini.
Kecuali sebagai
filosuf akhlak, Ibn Maskawaih juga seorang pengarang. Diantara kitab-kitabnya
yang dikenal adalah :
1.
Kitab
Uns al-farid.
2.
Tajaribu
‘I-Umam.
3.
Kitab
al-Fauzal-Shaghir.
4.
Kitab
al-Fauz al-Kabir.
5.
Tahdzibu
‘I-Ahklak wa tathhiru ‘I-‘A’raq.
6.
Tartibu
‘s-Sa‘adah.[2]
B. PEMIKIRAN
1. Ketuhanan
Dalam beberapa masalah pokok, pemikiran Ibn Maskawaih
berjalan dengan apa yang telah digariskan sebelumnya oleh al-Farabi karna
keduannyatelah menimba ilmunya dari sumber yang sama, yakni filsafah Yunani.
Namun, kecenderungannya kepadaal-Kindi lebih terasa, seperti yang dikatakan
oleh De Boer.
Dalam masalah ketuhanan atau metafisika, pemikiran Ibn
Maskawaih sangat terbatas sekali, dan tidak memadai untuk mengetahui
pendiriannya dengan lengkap. Dalam kitab al-Fauz al-Asghar, ia
mengatakan bahwa dikalangan orang-orang yang pantas disebut sebagai filosof,
tidak ada perbedaan pendapat dalam menetapkan adanya Allah, Pencipta alam.
Tidak ada orang yan meriwayatkan adanya filosuf yang mengingkari adanya Allah.Dan
seperti yang disebut oleh al-Kindi, Ibn Maskawaih menyatakan bahwa Allah itu
Esa dalam segala segi,tidak ada sesuatu yang sebanding dengan-Nya. Ia telah
menciptakan alam ini dari tidak ada, karna penciptaan (ibda’) hanya benar dan
jika dari tidak ada.[3]
Tampaknya, Ibn
Maskawaih tidak banyak perhatiannya kepada masalah ketuhanan jika dibandingkan dengan
para filosof islam sebelumnya karna masalah ini tidak diperdebatkan lagi di
zamannya. Jadi, situasi zaman tidak menimbulkan gairah mempermasalahkan
soal-soal ketuhanan. Dari itu, perhatiannya lebih besar kepada masalah akhlak
karna pada zamannya nilai-nilai akhlak sudah banyak diremehkan orang. Malah ia
sendiri telah menghabiskan waktu mudanya dalam memperturutkan keinginan nafsu
berahinya dengan berbagai perbuatan keji, dan pada usia tua, ia menyesal atas
umur yang telah disia-siakan, lalu ia tobat dan meninggalkan perbuatan itu.[4]
2. Manusia
Pemikiran Ibn
Maskawaih tentang manusiatidak banyak berbeda dengan para filosof islam
sebelumya. Manusia merupaka alam kecil (micro cosmos) yang dalam dirinya
terdapat persamaan-persamaan dengan apa yang ada di alam besar (macro cosmos).
Pancaindera yang ada pada manusia, di samping mempunyia daya-daya yang khas,
juga mempunyai indera-bersama (hiss musytarak) yang berperan sebagai pengikat
sesame indera. Cirri-ciri indera bersama ini ialah dapat menerima
citr-citra-indrawai secara serentak, tanpa zaman dan tanpa pembagian. Juga citra-citra
itu tidak saling bercampur dan terdesak sesamanya pada undera tersebut.
Kemudian daya ini
beralih ketingkat dayakhayal yang terletak di bagian depan otak. Dan daya
khayal pada manusia meningkat ke daya berpikir sehingga ia dapat berhubungan
denan akal aktif untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi.
Adapun tentang
jiwa, Ibn Maskawaih berpendapat bahwa jiwa itu adalah jauhar rohani yang kekal,
tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Dan jiwa itu akan menerima balasan di
akhirat nanti. Dalam hal ini, Ib
Maskawaih berpendapat bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat hanya
dialami oleh jiwa saja, sepertiyang disebut oleh Ibn Sina sesudahnya. Kelezatan
jasmani – kata Ibn Maskawaih – bukan kelezatan hakiki, demikian pula
kesengsaraan.
3. Kenabian
Seperti halnya
al-Farabi, Ibn Maskawaih manafsirkan nubuah (kenabian) secara akali,
sehingga dapat memperkecil perbedaan nabi dengan filosof dan memperkuat
hubungan wahyu dengan akal.
Semua manusia perlu
kepada nubuah karena sumber ajaran yang diperlukan untuk mengetahui
sifat-sifat keutamaan dan yang terpuji dalam kehidupan praktis hanya terdapat
dalam agama. Nabi adalah pembawa ajaran itu yang berasal dari Allah kepada
ummat manusia.
Nabi – kata Ibn
Maskawaih – adalah seorang insan yang berkat pengaruh aktif (‘aql fa’ ‘al) terhadap
daya inderawai dan khayal telah memperoleh hakikat-hakikat yang juga telah
diperoleh oleh para filosof. Perbedaannya terletak pada cara menerima hakikat
tersebut. Pada filosof, hakikat itu diterima dari bawqah ke atas : dari daya
inderawi ke daya khayal lalau ke daya berpikir yang dapat berhubungan dengan
akal aktif sebagai sumber segala hakikat. Sedangkan pada nabi dimulai dari akal
aktif turun langsung kepadanya . Jadi, sumber kebenaran adalah satu, yakni akal
aktif. Pendapat ini sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh al-Farabi
sebelumnya.
Demikianlah
pemikiran Ibn Maskawaih tentang hubungan agama dengan falsafah yang jelas
menunjukkan persamaan dengan apa yang telah digariskan oleh al-Farabi
sebelumnya dan yang merupakan kecenderungan kebanyakan para filosof islam
sebagai akibat dari kekagumannya terhadap falsafah Yunani di satu pihak dan
ajaran islam di pihak lain.
4. Akhlak
Pemikiran Ibn
Maskawaih terhadap seluruhnya dalam kitab tahdzibu ‘I-Akhlak. Dalam
masalah ini ia termasuk,seorag pemikir islam yang terkenal. Dala setiap
pembahasan akhlak dalam islam, pemikirannya selalu diperhatikan orang. Hal ini
karna pengalaman hidupnya sendiri, yang pada waktu usia muda sering dihabiskan
pada perbuatan-perbuatan yang sia-sia, telah menjadi dorongan kuat baginya
untuk menulis kitab tentang akhlak sebagai tuntunan bagi generasi sesudahnya.
Kitab tersebut merupakan uraian suatu mazhab dalam akhlak yang baqhan-bahannya
ada yang berasal dari konsep-konsep akhlak dari Plato dan Aristoteles yang
diramu dengan ajaran dan hokum islam serta diperkaya dengan pengalaman hidup
pribadinya dan situasi zamannya. Tujuannya untuk memberi bimbingan bagi
generasi muda dan menuntun mereka kepada kehidupan yang berpijak pada
nila-nilai akhlak yang luhur serta manghimbau mereka untuk selalu melakukan
perbuatan yang bermanfaat agar mereka tidak sesat dan umur mereka tidak
disia-siakan seperti yang telah dialaminya. Dari itu, mazhab akhlak Ibn
Maskawaih merupakan paduan antara kajian teoritis dan tuntunan praktis.
a.
Pengetian
dan Hakikat Akhlak
Dalam kosepsi Ibn Maskawaih, akhlak adalah “suatu sikap
mental (halun li’n-nafs) yang mendorongnya untuk berbuat, tanpa piker
dan pertimbangan”. Keadaan atau sikap jiwa ini terbagi dua : ada yang berasal
dari watak (teperamen) dan ada yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan
kata lain tingkah laku manusia mengandung dua unsur : unsur watak naluri dan unsur
usaha lewat kebiasaan dan latihan.
Untuk mengetahui
dasar-dasar akhlak, Ibn Maskawaih memberi beberapa prinsip, yaitu :
v Tujuan ilmu akhlak adalah membawa manusia kepada
kesempurnaan. Berbeda dengan hewan dan tumbuhan, kesempurnaan manusia terletak
pada pemikiran dan perbuatan. Yakni kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan amal.
v Kelezatan inderawi hanya sesuai dengan hewan
tidak dengan manusia. Bagi manusia, kelezatan akalai adalah yang lebih sesuai
dengan martabatnya.
v Anak-anak harus dididik berdasarkan akhlak yang
mulia, disesuaikan rencananya dengan urutan daya-daya yang mula lahir padanya.
Jadi, dimulai dengan jiwa keinginan, lalu jiwa marah dan akhirnya jiwa
berpikir.
b.
Sifat-sifat
dan keutamaan
Sifat-sifat keutamaan sangat berkaitan dengan jiwa.
Setiap manusia mempunyai satu jiwa dalam dirinya seperti yang
disebut oleh Aristoteles sebelumnya. Jiwa ini memiliki tiga daya, yaitu daya
berpikir, daya marah dan daya keinginan. Sifat-sifat keutamaan dan kerendahan
terletak berhadapan dengan daya-daya tersebut. Sifat hikmah adalah sifat utama
bagi jiwa berpikir, dan ia lahir dari ilmu; marah adalah sifat utama bagi jiwa
keinginan, dan ia lahir dari ‘iffah (memelihara kehormatan diri) dan
berani adalah sifat utama dari jiwa marah, dan ia lahir dari hilm
(menahan diri).
c.
Kebahagiaan
Sebelum Ibn Maskawaih menjelaskan arti kebahagiaan, ia
mengemukakan lebih dahulu pendapat para hukama Yunanitentang kebahagiaan. Di
antara mereka terutama Plato, mengatakan bahwa kebahagiaan itu khusus dialami
oleh jiwa atau rohani semata, tidak oleh jasmani. Selanjutnya manusia masih
hidup, atau rohaninya masih berkait dengan badan, manusia tidak akan memperoleh
bahagia.dan baru kebahagiaan itu dialami setelah manusia mengalami kematian,
dimana jiwa telah terlapas dari pengaruh badanyang selalu mengambatnya mencari
hikmah. Golongan lain terutama Aristoteles mengatakan bahwa manusia dapat memperoleh
kebahagiaan dalam kehidupan dunia ini, yakni dalam hal jiwa masih terkait
dengan badan. Dan kebahagiaan itu berbeda di antara manusia. Orang miskin
memandang kebahagiaannya pada kekayaan, orang sakit pada kesehatan, orang mulia
pada pemberian bantuan kepada yang berhak dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan mengucapkan Alhamdulillah, makalah ini telah
penulis selesaikan dengan semampunya, dan dimana nantinya teredpat
kesalah-kesalahan baik berupa bentuk maupun isinya, penulis memohon maaf karna
penulis masih dalam belajar dan pemahaman tentang filsafat masih terbatas.
Penulis dapat menyimpulkam isi dari makalah ini, bahwa
setiap segala sesuatu peroleh ataupun yang kita hadapi, itu semua terdapat keistimewaannya
masing-masing, bukan hanya semata-mata mempunyai atau mengalami. Namun
demikian, kita kita tidak bisa tau juga dimana keistimewaan itu. Tapi Allahlah
yang menentukan semuanya sesuai dengan kehendak-Nya.
B.
Saran
Dalam kesempatan yang seperti inilah seseorang bisa
dengan mudah untuk mengoreksi diri masing-masing. Maka dalam hal ini, penulis
akan mengucapkan terima kasih dan penghormatan juga bagi kawan-kawan semua,
bila nantiya bisa memberikan saran dan kritikan-kritikan yang tepat, sehingga
untuk kedepan penulis bisa menyusunnya dengan lebih sempurna lagi. Amin…
DAFTAR PUSTAKA
Daudy, Ahmad. Segi-segi
pemikiran filsafi dalam islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1948)
; Allah dan manusia dalam konsepsi Nuruddin ar-Raniry (Jakarta :
Rajawali, 1983).
Amin, Ahmad. Dhuha
‘I-Islam (Kairo : Maktabah an-Nahdhah
al-Mishriyyah, 1956); Zhuhru ‘I-Islam (Kairo : Maktabah
an-Nahdhah al-Mishriyyah, 1957);
Mahmud, Abdul Halim. Falsafah
Ibn Thufail wa Risalah Hayy Ibn Yaqadzan (Kairo
: Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah);
[1] Dr AHMAD DAUDI, Falsafah al-Akhlak fi’I-Islam (Kairo, 1945),
hal.71.
[2] Dr AHMAD DAUDI, Tarikh al-Fikr al-‘Arabiy (Bairut, 1962),
hal. 234-244; M.M. Syarif, (editor), Histori of Islamic Philosophy (Wiesbaden , 1963), hal.
469.
[3] Dr AHMAD DAUDI, Al-Fauz al-Asghar (Bairut, 1319), hal.
12,32.
[4] Dr AHMAD DAUDI Ma’alim al-Fikir al-A’rabiy (Bairut : Dar
al-Malayin , 1961), hal. 273.
0 Response to "Makalah Filsafat Islam"
Post a Comment