Islam dan Budaya Aceh

BAB I : Pembahasan
  1. Islam Sebagai Sumber Inspirasi Budaya
Kebudayaan (culture) adalah suatu komponen penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya struktur sosial. Secara sedehana kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu cara hidup. Cara hidup atau pandangan hidup itu meliputi caara berikir, cara berencana dan cara bertindak, di samping segala hasil karya nyata yang di anggap berguna, benar dan dipatuhi oleh anggota-anggota masyarakat atas kesepakatan bersma.
Adapun istilah culture, sama artinya dengan kebudayaan, yaitu berasal dari kata latin colere yang berarti mengolah atau mengerjakan (mengolah atau mengerjakan tanah/bertani). Koentjaraningrat dalam bukunya (Pengantar Otropologi, 1965) mengatakan bahwa colere kemudian disebut culture, yang berarti segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Dari segi material mengandung karya, yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan benda-benda atau hasil-hasil perbuatan manusia yang berwujud materi. Sedangkan dari segi spiritual, mengandung cipta menghasilkan ilmu pengetahuan; karsa menghasilkan kaedah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan, hukum dan selanjutnya rasa, menghasilkan keindahan. Jadi manusia berusaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan melalui logika, menyelerasikan tingkah lakunya terhadap kaedah-kaedah melalui etika. Hal itu semua merupakan kebudayaan.
Menurut C. Kluckhohn, terdapat tujuh unsur kebudayaan yang dapat dianggap sebagai cultural universal, yaitu:
  1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor dan sebagainya).
  2. Mata pendaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya).
  3. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sisten hukum, sistem perkawinan).
  4. Bahasa (lisan maupun tertulis).
  5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).
  6. Sistem pengetahuan.
  7. Religi (sistem kepercayaan).
Setiap manusia yang hidup dalam masyarakat memiliki kebudayaan, karna kebudayaan merupakan sarana manusia dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Bahkan Roucek dan Warren mengatakan bahwa kebudayaan itu bukan saja meruapakn seni dalam hidup, tetapi juga benda-benda yang terdapat di sekeliling manusia yang dibuat oleh manusia. Itu sebabnya ia mendefinisikan kebudayaan sebagai cara hidup yang dikembangkan oleh sebuah masyarakat guna memenuhi dasarnya untuk dapat bertahan hidup, meneruskan keturunan dan mengatur pengalaman sosialnya. Hal-hal tersebut adalah seperti pengumpulan baha-bahan kebendaan, pola organisasi sosial, cara tingkah laku yang dipelajari, dan ilmu pengetahuan, kepercayaan dan kegiatan lain yang berkembang dalam pergaulan manusia. Roucek dan Warren menganggap bahwa kebudayaan merupakan sumbangan manusia kepada alam lingkungannya.
Kebudayaan, di dalamnya terkandung segenap norma-norma sosial, yaitu ketentuan-ketentuan masyarakat yang mengandung sanksi atau hukuman-hukuman yang dujatuhkan apabila tyerjadi pelanggaran. Norma-norma itu mengandung kebiasaan-kebiasaan hidup, adat istiadat atau adat kebiasaan (folkways). Folkways sendiri berisi tradisi hidup bersam yang biasanya dipakai secara turun-temurun. Adat-istiadat yang berisikan hukuman adat yang lebih berat lagi disebut mores, yang dalam pengertian sehari-hari diwajibkan untuk dianut dan diharamkan jika dilanggar. Sedangkan apanila kebiasaan seseorang juga sering dilakukan oleh orang lain sehingga kemudian menimbulkan norma yang dijadikan patokan bertindak oleh orang banyak sebagai adat-istiadat, maka disebut costum.
Kebudayaan berfungsi mengatur agar manusia dapat memahami bagaiamana seharusnya manusia bertingkah laku, berbuat untuk memahami kebutuhan hidupnya dalam masyarakat. Sedangkan adat kebiasaan (habit) merupakan kelakuan pribadi, artinya kebiasaan seseorang berbeda dengan kebiasaan orang lain.

  1.  Islam Dan Kebudayaan
Islam adalah sebuah keharmonisan yang mencakup system ekonomi yang adil, organisasi kemasyarakatan yang seimbang, hukum perdata, hukum pidana maupun hukum internasional, pandangan filosofis terhadap kehidupan beserta cara pelaksanaannya, yang semuanya terpancar dari dasar yang sama, yakni kepercayaan dan watak moral dan spiritual Islam. Islam, kata ini sendiri berarti pembahasan dari segala bentuk perbudakan yang menghambat kemajuan umatmanusia atau menyuruh umat manusia untuk mengikuti jalan kebaikan.
Islam diwahyukan bagi umat manusia melalui masyarakat Arab yang waktu itu terutama terdiri dari orang-orang Badui yang berwatak sangat kasar dan bengis, seperti yang dikatakan Al-Qur’an tentangnya. Orang-orang Badui adalah orang-orang yang sangat munafik dan ingkar.
Salah satu di antara mukjizat-mukjizat islam ialah keberhasilannya mengubah bangsa Badui yang kasar dan biadap menjadi bangsa yang berprikemanusiaan. Mereka bukan saja telah dipimpin ke jalan yang benar dan diangkat dari derajat hewani ke jenjang kemanusiaan yang lebih luhur, tapi mereka juga telah menjadi pandu-pandu yang membimbing umat manusia ke jalan Allah. Inilah sebuah gambaran jelas tentang kemampuan Islam yang menakjubkan dalam mengadapkan umat Islam dan menyucikan jiwanya.
Tidak perlu di sangsikan lagi bahwa di dalam penyucian jiwa itu sendiri terdapat suatu tujuan luhur, citi-cita dan perjuangan umat manusia yang mulia. Tetapi islam tidak sekedar puas dengan penyucian jiwa. Ia selalu mengambil segala bentuk kebudayaan yang merupakan kepentingan umum dewasa ini, yang oleh sebagian orang di anggap sebagai inti kehidupan. Islam memajukan dan menunjang kebudayaan setiap negeri yang ditaklukkannya selama kebudayaan itu tidak bertentangan dengan monothiesme, dan selama tidak menyimpangkan manusia dari menjalankan amal shalih.
Islam juga menunjang dan memajukan arisan ilmu pengetahuan Yunani termasuk ilmu kedokteran, ilmu perbintangan, matematika, fisika, kimia dan filsafat. Islam terus-menerus telah menambahnya dengan penemuan keilmuan baru, yang menjadi saksi bahwa kaum muslim sangat tertarik dan bersungguh-sungguh dalam penyelidikan-penyelidikan ilmu pengetahuan. Di atas sari pati penemuan keilmuan Islam Andalusia itulah zaman Renaissans Eropa beserta dengan penemuan keilmuan modern berpijak.
Sikap Islam terhada kebudayaan barat dewasa ini sama dengan yang telah ditunjukkannya terhadap setiap kebudayaan masa lampau. Islam menerima segala yang baik dari kebudayaan-kebudayaan itu, tetapi sejalan dengan itu ia menolak segala yang buruk daripadanya. Islam tidak pernah menganjurkan suatu sikap isolasionisme ilmiah ataupun materialistic. Islam tidak memerangi kebudayaan lain demi pertimbangn pribadi atau rasial, karma islam percaya akan  kesatuan kemanusiaan dan eratnya hubungan antara umat manusia dengan ras dan kecenderungannya yang berbeda-beda itu.

  1.  Beberapa Unsur Kebudayaan Islam
Hakikat Islam, kerahmatan dan kesemestaan berhubungan secara simbiotik dengan seangat zaman, yaitu kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan. Pencapaian cita-cita kerahmatan dan kesemestaan (kemaslahatan untuk semua) sangat tergantug pada penemuan-penemuan baru akan metode dan teknik untuk mendorong kehidupan yang lebih baik dan lebih maju. Dengan demikian, kerahmatan mengandung muatan kemodernan. Islam menjadi universal karma mampu menampilkan ide dan lembaga modern serta menawarkan etika modernisasi.
Globalisasi dewasa ini menampilkan suatu corak hubungan antar bangsa yang tidak seimbang. Hubungan antar negara-negara maju dan berkembang masih ditandai oleh polarisasi kuat-lemah. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan tejadinya “akulturasi simetis”, yaitu bahwa pengaruh negara-negara maju yang dominant dalam bidang ekonomi dan ilmu pengetahuan teknologi atas dasar negara-negara berkembang juga memasuki bidang-bidang non ekonomi, seperti politik dan budaya.
Akulturasi simetris mendorong penetrasi budaya asing ke wilayah budaya nasional satu bangsa dan mengakibatkan terjadinya transformasi budaya yang timpang. Proses transformasi budaya ini acapkali menimbulkan “keterjutan budaya” dikalangan bangsa yang tidak memiliki ketahanan budaya yang kuat. Sebagai akibatnya, bangsa tersebut mengalami kegamangan budaya dan terjebak ke dalam persepsi kehebatan budaya bangsa lain.
Pada tingkat tertentu gejala kegamangan budaya menghinggapi sebagian masyarakat Indonesia, seperti tampak pada respon terhadap pengaruh budaya asing yang tidak kritis, rasional dan proporsional, umpamanya lebih menekankan pada pengambilalihan budaya dalam arti terbatas (seni dan mode kehidupan) daripada pengambilalihan iptek. Sebagai proses mendunianya kehidupan umat manusia, globalisasi mendorong penyebaran dan pertukaran nilai budaya yang tidak lagi mengenal batas geografis. Proses ini mengakibatkan terjadinya transformasi kebudayaan dunia dalam proses modernisasi dan industrialisasi yang dahsyat, yang menciptakan perubahan pada struktur dan pranata masyarakat.
Sebagai akibat modernisasi dan industrialisasi adalah munculnya masyarakat modern atau masyarakat industrial. Masyarakat modern mempunyai pandangan dunia yang bertolak dari satu anggapan tentang kekuasaan manusia, yaitu bahwa manusia merupakan pusat kehidupan (antroposentrisme). Dalam pandangan ini, manusia mempunyai kekuasaan untuk menentukan kehidupannya sendiri. Paham tentang kekuasaan manusia ini melahirkan pandangan kemanusiaan sekuler (humanisme sekuler) yang menekankan rasionalitas (kekuasaan akal pikiran), individualitas (kekuasaan diri-pribadi), meterialitas (kekuasaan harta benda), dan relatifitas (kekuasaan kenisbian).
Masyarakat modern sangat terikat dengan struktur-struktur kehidupan teknologis. Dalam hal ini manusia menjadi otomaton-otomaton kehidupan, yang percaya kepada kemampuan diri namun sangan tergantung pada benda yang diciptakannya sendiri. Sementara itu, tidak ada tempat dalam masyarakat industrial modern bagi sesuatu yang bersifat immateri atau rihani, karma apa yang disebut immateri atau rohani merupakan hasil dari sesuatu yang bersifat materi dan bendawi. Manusia dan masyarakat mengalami kegersangan bahkan kekosongan nilai spiritual. Sebagai akibatnya, manusia bersaing satu sama lain untuk merebut prestasi setinggi-tingginya dalam bidang material, tanpa memperhatikan nilai etika dan moral.

  1.  Universalisme Kebudayaan Islam
Dalam percakapan sehari-hari,  orang-orang Muslim tidak jarang mengemukakan bahwa agama mereka adalah “ sesuai dengan zaman dan tempat ”. ini dibuktikan antara lain oleh pengamatan bahwa Islam adalah agama yang paling banyak mencakup berbagai ras dan kebangsaan, dengan kawasan pengaruh yang meliputi hampir semua ciri klimatologis dan geografis. Sejak semula, seperti dapat dilihat dalam kehidupan Nabi dan sabda-sabda baliau, agama Islam menyadari penghadapannya dengan kemajemukan rasial dan budaya. Karna itu ia tumbuh bebasa dari klaim-klaim eksklusifitas rasialistis maupun linguistis. Bahkan seperti halnya semua kenyataan lahiriah, kenyataan rasial dan kebebasan dengan tegas diturunkan nilanya dari kedudukan mitologisnya, atau cara pandang kepadanya disublimasi dengan amat bijaksana ke daratan lebih tinggi, yaitu daratan spiritual, dengan memandangnya pertanda “ sebagai kebesaran Tuhan “ (Ayat Allah).
Itu semua terjadi karma dalam pandangan Islam yang penting pada manusia ialah alam kemanusiaan itu sendiri. Sama dengan setiap kenyataan alami, kemanusiaan manusia tidak terpengaruh oleh zaman dan tempat, asal usul rasial dan kebahasaan, melainkan tetap ada tenpa perubahan dan peralihan. Maka karna Islam berurusan dengan alam kemanusiaan itu, ia ada bersama manusia, dan ini berarti tanpa pembatas oleh ruang dan waktu serta kualitas-kualitas lahiriah kehidupan manusia.
Jadi “ Islam “ memang telah menjadi nama sebuah agama, yaitu agama Rasul terakhir. Namun ia bukan sekedar nama, tapi nama yang tumbuh karna hakikat dan inti ajaran agama itu, yaitu pasrah kepada Tuhan (al-islam). Dengan begitu maka seorang pengikut Nabi Muhammad adalah seorang muslai, yang pada dasarnya tanpa mengeksklusifkan orang lain, yang dalam menganut agamanya itu (seharusnya) senantiasa sadar akan hakikat agamanya, yaitu al-islam, sikap pasrah kepada Tuhan. Karna kesadaran akan memakna hakiki keagamaan itu, maka “ Agama Islam “ juga “ Orang Muslim “ atau “ Ummat Islam “ selamanya mempunyai implus universlaisme, yang pada urutannya memancar dalam wawasan budayanya yang berwatak kosmopolit.

  1.  Kosmopolitisme Budaya Islam
Selain merupak pancaran makna al-islam itu sendiri serta pandangan kesatuan kenabian (Wihdat Al-Nubuwwah) berdasarkan makna al-islam itu, serta konsisten dengan semangat prinsip-prinsip itu semua, kosmoplitisme budaya Islam juga mendapat pengesahan langsung dari kitab suci, seperti suatu pengesahan berdasarkan konsep-konsep kesatuan kemanusiaan (wihdat al-insaniyyah) yang merupakan kelanjutan konsep ke-Maha Esa-an Tuhan (Wahdaniyah atau Tauhid).
Umat manusia itu tidak lain adalah umat ynag satu, tapi kemudian mereka berselisih (sesama mereka). Jika seandainya tidak ada keputusan (kalimah) yang telah terdahulu dari Tuhanmu, maka tentulah segala perkara yang mereka preselisihkan itu akan di selesaikan (sekarang juga). (QS.10:19 )
$tBur tb%x. â¨$¨Y9$# HwÎ) Zp¨Bé& ZoyÏmºur (#qàÿn=tF÷z$$sù 4 Ÿwöqs9ur ×pyJÎ=Ÿ2 ôMs)t7y `ÏB šÎi/¢ zÓÅÓà)s9 óOßgoY÷t/ $yJŠÏù ÏmŠÏù šcqàÿÎ=tFøƒs ÇÊÒÈ
  Manusia dahulunya hanyalah satu umat, Kemudian mereka berselisih, kalau tidaklah Karena suatu ketetapan yang Telah ada dari Tuhanmu dahulu, Pastilah Telah diberi Keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu. (QS.10:19 )
            Umat manusia itu dahulunya adalah umat yang tunggal, kemudian Allah mengutus para Nabi untuk membawa kabar gembira dan memberi peringatan, dan berama para Nabi itu diturunkan-Nya kitab suci dengan membawa Kebenaran, agar kitab suci itu dapat memberi keputusan tentang hal-hal yang mereka perselisihkan. (QS. 2:123)
(#qà)¨?$#ur $YBöqtƒ žw ÌøgrB ë§øÿtR `tã <§øÿ¯R $\«øx© Ÿwur ã@t6ø)ム$pk÷]ÏB ×Aôtã Ÿwur $ygãèxÿZs? ×pyè»xÿx©
Ÿwur öNèd tbrçŽ|ÇZムÇÊËÌÈ
  Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan[86] seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafa'at kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong. (QS. 2:123)
            Pengaruh filsafat Yunani dan kebudayaan Yunani (Hellenisme) dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam pada umumnya merupakan hal baru. Pengaruh tersebut ada yang positif, dan banyak yang negetif. Tetapi dalam kaitannya dengan pokok pembicaraan kita, sambutan kaum Muslim yang hampir spontan terhadap kebudayaan Yunani seperti juga terhadap kebudayaan yang lain, dapat dipandang sebagai kelanjutan implus universalisme Islam.
            Seperti halnya dengan budaya Yunani, budaya Persia juga amat besar sahamnya dalam pengembangan budaya Islam. Jika Dinasti Umawiyah Dimaskus menggunakan system administrative dan birokratif Byzanthium dalam menjalankan pemerintahannya, Dinasti Abbasiyah meminjam system Persia. Dan dalam pemikiran, tidak sedikit pengaruh “Persianisme” atau “Aryanisme” yang masuk kedalam system Islam. Pola-pola seperti itu kita dapatkan di semua bagian  dari dunia Islam, namun semuanya sekaligus dilengkapi dengan suatu dasar universal ajaran Islam. Representasi poloa tersebut dalam bidang budaya material yang paling baik adalah arsitektur mesjid. Bahkan arsiterktur itu sendiri, secara keseluruhan mencerminkan watak kosmopoli budaya iSlam.
            Tentu saja, cakupan budaya Islam sebagai budaya iniversal dan kosmopolit amatlah luas. Maka yang diharapkan adalah bahwa sedikit yang telah dikemukakan di atas dapat memberi gambaran tentang budaya Islam. Semuanya kembali kepada pokok pembahasan kita, yaitu bahwa konsep al-islam yang universal melandasi sebuah agama yang implus universalisme yang amat kuat, dan melahirkan budaya dengan watak kosmopolit.

  1.  Islam Dan Budaya Lokal
Ketika membandingkan antara dua negeri Muslim dari ujung-ujunnya yang paling jauh, yaitu Indonesia da Maroko, Clifford Gerrtz mengambil tokoh Sunan Kalijaga dan Sidi Lahsen Lyusi sebagai perlambang corak keislaman masing-masing bangsa tersebut. Tentang Klijaga dilukisnya, “ meninggalkan Majapahit yang sedang mati dan turun martabat serta kehilangan wibawa, kemudian menembus berbagai gejolak politico-religuis negeri-negeri pelabuhan perantara, dan akhirnya sampai kepada spiritualitas yang bangklit kembali di Mataram; suatu ikhtisar transformasi social dalam sosok manusia.”
Ringkasannya, sebagai suatu perlambang dan suatu ide yang terwujud nyata, Sunan Kalijaga mempertautkan Jawa yang Hindu dan Jawa yang Islam, dan disitulah terletak daya tariknya, sama juga untuk kita maupun untuk orang lain. Apapun sebenarnya yang terjadi, ia dipandang sebagai jembatan antara dua peradaban tinggi, dua epok sejarah, dan dua agama besar: yaitu Hinduisme-Budhaisme Majapahit yang disitu ia dibesarkan, dan Mataram Islam yang ia kembangkan.
Sementara Kalijaga lebih sering ditampilkan sebagai tokoh legenda atau dongeng tanpa banyak dukungan sejarah, Sidi Lahsen Lyusi (nama sebenarnya ialah Abu Ali al-Hasan ibn Mas’ud al-Yusi) memiliki ketokohan histories yang lebih kukuh. Sebagai perlambang gaya keislaman dua bangsa, terdapat dua kesamaan antara Kalijaga dan Lyusi, yaitu kedua-duanya muncul dan memainkan peranan dalam masa-masa kritis masyarakatnya, dan mencoba, kemuidian dipercaya sebagai berhail, menemukan jalan keluar dan penyesaian. Kedua-duanya mengembara dari satu tempat ketempat lain, dengan pebuh semangat mencari. Mereka hidup dalam zaman yang berdekatan: Kalijaga di abad enam belas, dan Lyusi di abad tujuh belas. Kedua-duanya, menurut penururtan berasal dari lapisan masyarakatnya: Kalijaga seorang bangsawan, dan Lyusi seorang syarif (Keturunan Nabi SAW). Namun terdapat perbedaan amat penting antara keduanya, dalam latar belakang sosiologisnya dan dalam mencari pemecahan. Di Jawa, krisis yang dihadapi Kalijaga adalah akibat melemahnya Majapahit yang Hindu-Budhis dan demoralisasinya, kemudian introduksi Islam yang vital dan dinamis. Sedangkan di Maroko, krisis yang ditemukan oleh Lyusi ialah masyarakat yang sudah berabad-abad terislamkan (sejak 50 tahun sesudah wafat Nabi SAW) namun mengalami distentigrasi ke dalam kelompok-kelompok kecil dengan seorang yang dipercayai sebagai wali selaku tokoh sentral. Krisis itu ditandai dengan berkembangnya maraboutisme, suatu gejala dan praktek mistis Islam Maroko warisan Dinasti Murabithun. Maka jika Kalijaga mencari penyelesaian krisis masyarakatnya dengan menemukan harmoni, keselarasan dan keutuhan estitis, Lyusi mencoba mengatasinya dengan mengarahkan masyarakat kepada tuntutan-tuntutan moral yang dipercayai sebagai ajaran agama yang benar. Sikap Lyusi itu tercermin dalam suatu kejadian ketika ia menjadi tamu Sultan Mulay Ismail dan memecahkan pinggan-cawan Sultan. Ketika Sultan menggugatnya dengan mengingatkannya betapa ia telah dijamu dengan penuh hormat, Lyusi malah menjawab, “Baiklah, tapi mana yang lebih penting, pinggan-cawan Allah atau pinggan-cawan yang terbuat dari tanah; sedangkan yang diruskkan olehj Sultan ialah rakyat dengan kezalimannya yang ia lambangkan sebagai pinggan-cawan Tuhan. Karna sikapnya itu Lyusi diusir oleh Sultan, namun Sultan segera menyadari bahwa Lyusi adalah seorang wali Allah yang keramat, dan ia-pun bertaubat. Saat itulah Lyusi mengutarakan bahwa ia hanya minta diikuti sebagai keturunan Nabi (seperti Sultan sendiri). Kenudian Lyusi menyingkir ke suatu tempat di Pegunungan Atlas, disan ia meninggal dan menjadi sidi, orang suci.

  1.  Masalah Lingkungan Budaya
Dari gambaran yang diberikan oleh Geetz itu nampak adanya pengaruh lingkungan budaya tertentu dalam ekspresi keagamaan seseorang. Sebab sementara Kalijaga menampilka sosok yang serba damai dan rukun, Lyusi lebih bersemangat opisisional, namun oleh masyarakatnya masing-masiang, keduanya diakui sebagai wakil yang absah bagi corak keislaman mereka. Ini dilambangkan dalam pengakuan kepada yang satu sebagai anggota wali sanga,  dan yang lainnya mejadi seorang daripada sidi. Keduanya menampilkan unsur paham kewalian yang sangat kuat dan dipercayai punya kemampuan supernatural (“keramat”), yang bersumber dari ajaran kesufian. Namun jika pada Kalijaga hal itu disertai denganm semangat sinkretis, Lyusi melambangkan ketegaran moral dan integritas. Dalam menjelaskan segi peradaban lingkungan budaya itu, Geertz melihat kaitannya dengan kenyataan bahwa Maroko adalah sebuah negeri padang pasir, yang pola kehidupan sosialnya ditandai dengan semangat kabilah atau tribalisme.
Tentang adanya kaitan antara kondisi geografis, klimatologis dan subur-tandusnya suatu daerah dengan watak para penghuninya telah lama menjadi kajian para sarjana Muslim. Ibn Khaldun, dalam bukunya yang termasyhur, Muqaddimah, membagi bola bumi menjadi tujuh daerah klimatologis dengan pengaruhnya masing-masing dalam watak para penghuninya. Ia bahkan memaparkan teori tentang pengaruh keadaan udara suatu daerah terhadap akhlak serta tingkah laku seseorang setempat. Syahristani, dalam kitabnya yang juga terkanal, al-Milal wa al-Nihal, menyinggung tentang teori peradaban manusia  yang dipengaruhi oleh letak daerah huniannya dalam pembagian bola dunia menjadi timur, barat, utara dan selatan. Bangsa-bangsa timur berbeda dengan bangsa barat, dan mereka yang berada di belahan bumi utara berbeda dengan yang di belahan bumi selatan. Kemudian ia menyebutkan adanya empat bangsa induk di dunia ini, yaitu Arab, Persia, India dan Roma (Eropa). Ia sebutkan adanya kemiripan pada bangsa-bangsa Arab dan India, yaitu keduanya cenderung kepada pengamatan cirri-ciri khusus suatu pernyataan dan membuat penilaian berdasarkan pandangan tentang substansi dan hakikat kenyataan itu, dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan keruhanian. Sedangkan bangsa-bangsa Roma (Eropa) dan Persia mempunyai persamaan dalam kecenderungan melihat suatu kenyataan menurut tabiat luarnya, kemudian menjadi penilaian menurut ketentuan-ketentuan kulitatif dan kuantitatif, dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan kejasmanian.
Jika benar apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldun dan Syahristani, maka sudah semestinya kita menduga bahwa ada pengaruh-pengaruh tertentu pada lingkungan hidup sekelompok manusia terhadap keagamaannya. Ini tidak perlu berarti pembatalan segi universal suatu agama, apalagi agama Islam. Hal itu hanya membawa akibat adanya realitas keragaman penerapan prinsip-prinsip umum dan universal suatu agama, yaitu keanekaragaman berkenaan dengan tata-cara (technicalities). Pada contoh Kalijaga dan Lyusi, keragaman itu menyangkut tingkat “tata-cara” yang tinggi dan abstrak, karna itu tidak mudah dikenali segi benar salahnya secara normative universal bagi kebanyakan orang. Namum demikian hal itu tidak begitu saja ditafsirkan sebagai sikap mengkompromikan prinsip, biarpun pada Kalijaga yang “sinkretistik” dan pada Lyusi yang banyak mengaku-ngaku sebagai  sayyid (padahal konon ia “hanyalah” keturunan Barbar dari suatu desa terpencil di Sahara). Sebagai “tata-cara”, inti persoalan itu semua bernilai “instrumental”, tidak intrinsic.
Hal itu terjadi karna pada zaman keemasan kekuasaan Islam, bahasa Arab praktis menjadi bahasa semua bangsa yang terbebaskan oleh Islam, kecuali Persia dan daerah pengaruhnya, ke timur sampai Bangladesh dank e barat sampai Turki. Dari sudut pandang tertentu memang merupakan suatu hal yang amat menarik bahwa Persi, sekalipun termasuk yang mula-mula ditaklukkan oleh bangsa Arab dan merupakan bukan salah satu bangsa Arab pertama yang diislamkan, namun berbeda dengan bangsa-bangsa lain sejak dari Irak sampai Mauritania, Persia atau Iran tidak berhasil “di-Arab-kan”. Jadi apapun keterangan yang ada, semuanya mendukung suatu pandangan bahwa suatu agama, termasuk Islam, dalam interaksinya dengan budaya lain, tentu akan mengalami akulturasi timbal balik.

  1.  Fungsi Budaya Lokal Dalam Islam
Adanya kemungkinan akulturasi timbale balik antara Islam dan Budaya local diakui dalam suatu kaedah atau ketentuan dasar dalam ilmu Ushul al-Fiqh, bahwa, “Adat itu dihukumkan” (Al-‘Adah Muhakkamah) atau lebih lengkapnya, “Adat adalah syari’ah yang dihukumkan” (al-‘Adah Syari’ah Muhakkamah). Artinya, adapt dan kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya lokalnya, adalah sumber hukum dalam Islam.
Berkenaan dengan itu, tidak perlu lagi ditegaskan bahwa unsur-unsur budaya lokal yang dapat atau harus dijadikan sumber hukum ialah sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Unsure-unsur yang bertentang dengan prinsip Ialam dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Dan inilah makna kehadiran Islam  di suatu tempat atau suatu negeri. Karna itu setiap masyarakat Islam mempunyai masa jahiliyahnya sendiri yang sebanding dengan apa yang ada pada bangsa Arab, masa jahiliyah suatu bangsa atau masyarakat ialah masa sebelum datang Islam di situ, yang masa itu diliputi oleh praktek-praktek yang berlawanan dengan ajaran tauhid serta ajaran-ajaran lain dalam Islam, seperti misalnya, tata social tanpa hukum, tahayul, mitologi, feodalisme, ketidakpedulian pada nasib orang kecil yang tertindas, pengingkaran hak asasi, perlawanan terhadap prinsip persamaan manusia, dan seterusnya. Semuanya harus ditiadakan dan diganti dengan ajaran-ajaran Islam tentang Tauhid atau paham ketuhanan yang Maha Esa (dengan implikasi terkuat anti pemujaan gejala alam dan sesame manusia), tertib hukum, rasionalitas, penilaian berdasarkan kenyataan dan pandangan ilmiah, penghargaan sesame manusia atas dasar prestasi dan hasil kerja, keadilan social, paham persamaan antara umat manusia dan seterusnya.
Jika kedatangan Islam selalu mengakibatkan adanya perombakan masyarakat atau “pengalihan bentuk” (transformasi) social menuju ke arah yang lebih baik. Tapi pada saat yang sama, kedatangan Islam tidak mesti “disruptif” atau bersifat memotong suatu masyarakat dari masa lampaunya semata, melainkan juga dapat ikut melestarikan apa saja yang baik dan benar dari masa lampau itu dan bias dipertahankan dalam ujian ajaran universal Islam. Inilah yang dialami dan disaksikan oleh Kalijaga tentang masyarakat Jawa, ketika ia melihat feodalisme Majapahit dengan cepat sekali runtuh dan digantikan oleh egalitarianisme Islam yang menyerbu dari kota-kota pantai utara jawa yang menjadi pusat-pusat perdagangan Nusantara dan Internasional. Kemudian Kalijaga memutuskan untuk ikut mendorong percepatan proses transformasi itu, dengan justru menggunakan unsure-unsur lokal guna menopang efektfitas segi teknis dan operasionalnya.








BAB II : Penutup
  1. Kesimpulan
Dari penjelasan makalah ini dapat kita simpulkan bahwa kebudayaan dapat di definisikan yaitu :
1)      Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor dan sebagainya).
2)      Mata pendaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya).
3)      Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sisten hukum, sistem perkawinan).
4)      Bahasa (lisan maupun tertulis).
5)      Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).
6)      Sistem pengetahuan.
7)      Religi (sistem kepercayaan).

  1. Saran
Dalam menyusun makalah ini, penulis masih dalam kemampuan yang sangat terbatas, jadi bilamana terdapat kesalahan dan kekurangan atau kesilapan isi makalah ini mohon untuk dapat di makluminya. Dan mudah-mudahan dari isi makalah ini bias menjadi satu ilmu pengetahuan terutama bagi pemakalah sendiri dan juga bagi siapa yang membacanya. Kemudian penulis juga mengharapkan adanya kritikan dan saran pada makalah ini, guna untuk lebih sempuran lagi untuk kedepan. Syukra Jazilan.









BAB III : Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA

            Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah,
Penerbit Beuna, Jakarta, 1983.
           
            Ali Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Bulan
Bintang, Jakarta, 1975

            Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1999

            Barlian AW, Kesenian Aceh Dalam Konteks Sosial,
Banda Aceh, Kongres Kebudayaan Aceh, Satker BRR
NAD, 8 s/d 10 April 2006.


            

Related Posts:

0 Response to "Islam dan Budaya Aceh"

Post a Comment