BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Kitab al-Qur’an yang merupakan pusat ajaran Islam telah
menjadi bahan pengkajian yang tidak pernah kering. Ia selalu digali agar
ditemukan berbagai mutiara dari dalam kandungannya. Sepanjang perjalanan
sejarah al-Qur’an, berbagai kalangan telah menumpahkan segenap waktu, tenaga
dan fikirannya untuk selalu dapat berinteraksi dengan kalam yang mulia
tersebut. Semakin intens perhatian yang diarahkan kepadanya, semakin besar daya
tarik yang ia pancarkan dan daya tarik tersebut tidak pernah habis dan selalu
tampak menarik bagaikan kilauan sudut permata yang begitu indah.
Salah satu jenis kajian yang terus berkembang seiring
perjalanan waktu adalah kajian tafsir yang boleh dikatakan sama tuanya dengan
usia al-Qur’an sejak ia diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW 14 Abad
yang lalu. Dalam setiap kurun waktu tertentu, cabang ini telah menghasilkan
pemikir-pemikir yang brilian yang telah mampu menjelaskan berbagai macam makna
yang dikandung oleh al-Qur’an dan menghasilkan karya-karya besar. Karya-karya
tersebut kelak akan menjadi salah satu alat mediasi yang paling jitu untuk
mudah memahami al-Qur’an dan menjadikannya pelita dalam kehidupan ini.
Tak asing lagi, nama Abdullah
bin Abbas atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Abbas menjadi
salah satu nama yang paling popular dalam menafsirkan wahyu Allah tersebut.
Kemampuan yang ia miliki telah diakui oleh berbagai kalangan, terutama kalangan
sahabat-sahabat Nabi yang cukup senior seperti Umar bin Khattab dan Ali
bin Abi Thalib. Langkah-langkah Ibnu Abbas dalam penafsiran al-Qur’an pun
menjadi salah
satu model yang mengilhami
ulama-ulama besar dalam bidang tafsir beberapa abad kemudian. Kota suci Mekkah
menjadi awal perkembangan pemikiran Ibnu Abbas yang juga menghasilkan ulama-ulama
besar seperti Said bin Jubair dan Mujahid bin Jabr[1].
BAB II
PEMBAHASA
- Biografi Ibnu Abbas
Nama
lengkap beliau adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthallib bin Hasyim bin
Abdli Manaf al-Quraisyi al-Hasyimi. Beliau adalah
anak paman Rasul Abbas bin Abdul Muthallaib. Ibundanya adalah Ummul
Fadl Lubanah al-Kubra binti al-Harits bin Hazan al-Hilaliyah. Ibnu
Abbas lahir di kota Mekkah 3 tahun sebelum Rasul Hijrah ke kota Madinah. Kelahiran
beliau bertepatan dengan tahun pemboikotan Bani Hasyim oleh orang-orang Quraisy. Ibnu
Abbas selalu bersama Nabi di masa kecilnya karena beliau termasuk salah
satu kerabat dekat Nabi dan karena bibinya, Maimunah, adalah salah seorang
istri Nabi. Menurut Riwayat Bukhari, Ibnu Abbas dididik langsung oleh
Rasul dan Rasul meramalkan bahwa ia akan menjadi ahli Tafsir al-Qur’an.
Ibnu Abbas sempat bersama-sama Rasul hingga Rasul wafat, pada saat itu
Ibnu Abbas masih berumur 13 tahun[2].
Abdullah
bin Abbas menunaikan ibadah Haji pada tahun Usman terbunuh, atas perintah
Usman. Ketika terjadi perang Siffin ia berada di al-Maisarah, kemudian
diangkat menjadi gubernur Basrah dan selanjutnya menetap disana sampai Ali
terbunuh. Kemudian ia mengangkat Abdullah bin al-Haris, sebagai penggantinya,
menjadi gubernur Basrah, sedang ia sendiri pulng ke Hijaz[3].
Pada
tahun 36 H. Beliau ditunjuk oleh Khalifah Utsman bin Affan untuk menjadi
gubernur di Hijaz. Ia tidak berada di kota Madinah ketika Utsman
terbunuh dalam pertikaian antara Ali dan Muawiyah, Ibnu Abbas memihak
kepada Ali. Di akhir usianya, Ibnu Abbas mengalami kebutaan,. Namun hal
itu tidak membuat kendurnya semangat beliau untuk menggali nilai-nila yang terkandung
di dalam al-Qur’an serta terus bersikap kritis terhadap setiap perkembangan yang terjadi di tengah ummat pada masanya..
Ibnu Abbas wafat pada tahun 68 Hijrah dalam usia 70 tahun. Beliau wafat di kota
Thaif dan dimakamkan di kota yang sama[4].
- Kedudukan dan Keilmuannya
Ibnu
Abbas dengan julukan Turjumanul Qur’an (juru tafsir al-Qur’an), Habrul
Ummah ( tokoh ulama umat) dan Ra’isul Mufasirin (pemimpin para
mufassir). Baihaqi dalam ad-Dala’il meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang
mengatakan:”Juru tafsir al-Qur’an yang paling baik adalah Ibnu Abbas.” Abu
Nu’aim mriwayatkan keterangan dari Mujahid, “Adalah Ibnu Abbas dijuluki orang
dengan Bahr (lautan) karena banyak dan luas ilmunya.” Ibnu Sa’id
meriwayatkan pula dengan sanad shahih dari Yahya bin Sa’id al-Ansari: Ketika
Zaid bin Sabit wafat Abu Harairah berkata:”Orang paling pandai umat ini telah
wafat, dan semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.”[5]
Ubaidillah bin Abdullah pernah
mengatakan: “ Tidaklah aku menyaksikan orang alim yang duduk bersama
Ibnu Abbas kecuali ia merendahkan diri terhadap Ibnu Abbas. Dan tidaklah
aku melihat orang yang bertanya kepada Ibnu Abbas kecuali ia akan
mendapatkan ilmu dari jawaban Ibnu Abbas”. Hal itupun juga disebabkan oleh
ketidakterlibatan beliau dalam percaturan politik dan pemerintahan, kecuali
hanya dalam waktu yang sangat sedikit, yaitu ketika beliau ditugaskan oleh Ali
bin Abi Thalib sebagai Amir di kota Basrah.
Dengan
kedalaman ilmu tersebut berbagai macam pujianpun diarahkan kepada beliau,
seperti yang disampaikan oleh Ibnu Umar, yang mengatakan bahwa Ibnu
Abbas adalah ummat Muhammad yang paling tahu tentang apa yang diturunkan kepada
Muhammad. Thawus, salah seorang Tabi’in pernah ditanya oleh al-Laits
bin Sulaiman : “Mengapa engkau tinggalkan sahabat-sahabat senior dan
berguru kepada anak kecil ini (Ibnu Abbas). Thawus menjawab, “Aku melihat 70
orang sahabat Rasul berselisih tentang suatu urusan, akan tetapi semuanya
kembali kepada pendapat Ibnu Abbas.”[6]
Luasnya ilmu yang dimiliki oleh Ibnu Abbas, tidaklah terjadi begitu saja.
Akan tetapi kepakaran tersebut disebabkan oleh beberapa hal yang amat
penting yang menghiasi perjalanan hidup beliau :
1.
Do’a
Rasulullah untuk Ibnu Abbas. Doa Rasulullah ini menjadi bukti yang paling kuat
tentang kemampuan Ibnu Abbas dalam menafsirkan dan memahami kitab suci
al-Qur’an. Menurut pengakuan Ibnu Abbas Sendiri, Rasul pernah dua kali
mendoakan beliau. Do’a tersebut adalah Allahumma ‘allimhu al hikma (اللهم علمه الحكمة) dan Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al takwil (اللهم فقهه في الدين وعلمه التاويل) Menurut ajaran Islam, do’a yang dipanjatkan oleh Rasul adalah do’a yang mustajab
dan seluruh kehendak Rasul di dalam do’a tersebut dikabulkan oleh Allah[7].
2.
Ibnu Abbas
besar dalam lingkungan rumah tangga kenabian, di mana beliau selalu hadir
bersama Rasulullah sejak kecil. Beliau selalu mendengar banyak hal dari Rasul,
dan menyaksikan kejadian serta berbagai peristiwa yang menyebabkan turunnya
ayat-ayat al-Qur’an. Bahkan beliau pernah dua kali menyaksikan Malaikat Jibril
bersama dengan Nabi.
3.
Interaksi beliau dengan para sahabat senior
sesudah wafatnya Rasulullah. Dari sahabat-sahabat senior tersebut, Ibnu Abbas
belajar berbagai hal yang berkaitan dengan al-Qur’an seperti tempat-tempat
turunnya al-Qur’an, sebab-sebab turunnya ayat dan lain sebagainya. Upaya untuk
belajar dan bertanya tersebut diungkapkan oleh Ibnu Abbas sendiri : “Aku
banyak mendapatkan hadits Rasul dari kalangan Anshar. Bila aku ingin mendatangi
salah satu di antara mereka, maka aku akan mendatanginya. Boleh jadi aku
akan menunggunya hingga ia bangun tidur kemudian aku bertanya tentang
hadist tersebut kemudian pergi.
4.
Pengetahuan
beliau yang sangat luas tentang bahasa Arab terutama kaitannya dengan uslub-uslubnya
dan puisi-puisi Arab kuno yang amat berguna untuk mendukung pemahaman beliau
terhadap al-Qur’an.
5.
Kecerdasan
otak yang merupakan anugerah Allah yang membuat Ibnu Abbas mampu untuk
berijtihad dan berani menerangkan berbagai hal yang beliau anggap benar dalam
penafsiran al-Qur’an.
Dengan
pengetahuan yang amat luas tersebut, maka Ibnu Abbas selalu menjadi rujukan
para sahabat baik senior maupun yunior untuk meminta keterangan dan penjelasan
tentang maksud suatu ayat. Seperti kasus ketika Umar bin Khattab bertanya kepada para sahabat Nabi, termasuk diantaranya
Ibnu Abbas, “Siapa yang menjadi sebab turunnya ayat ini, manurut pendapat
kalian. Lalu Umar membaca ayatnya :
uqtr&
öNà2ßtnr& br&
cqä3s?
¼çms9
×p¨Yy_ `ÏiB 9@ϯR
5>$oYôãr&ur
Ìôfs?
`ÏB
$ygÏFóss?
ã»yg÷RF{$#
¼çms9
$ygÏù `ÏB
Èe@à2
ÏNºtyJ¨W9$# çmt/$|¹r&ur
çy9Å3ø9$# ¼ã&s!ur
×pÍhè
âä!$xÿyèàÊ !$ygt/$|¹r'sù
Ö$|ÁôãÎ)
ÏmÏù
Ö$tR
ôMs%utIôm$$sù 3
Ï9ºxx.
ÚúÎiüt7ã
ª!$# ãNà6s9 ÏM»tFy$#
öNä3ª=yès9 crã©3xÿtGs?
ÇËÏÏÈ
Apakah ada salah seorang di
antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, Kemudian
datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih
kecil-kecil. Maka
kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya. (q.s.
al-Baqarah. 266), Mereka menjawab, “Allah Yang Mahatahu”. Umar marah
seraya berkata,”Jawab, tahu atau tidak!” janganlah kalian merasa minder wahai
saudaraku”, Ibnu Abbas menjawab,”Ada
sedikit yang terpikir dalam pikiranku, Ayat itu Allah jadikan sebagai suatu
contoh perbuatan, ‘Seseorang yang kaya lagi taa kepada Allah, ia didatangi oleh
setan dan diperdaya untuk melakukan maksiat sehingga ama perbuatannya musnah.”
(H.R. al-Bukhari)[8]. Kedalaman ilmu tersebut yang pada akhirnya kaum
muslimin memberinya gelar sebagai Turjumanul Qur’an, penafsir al-Qur’an.
- Perkembangan Tafsirnya
Ibnu abbas merupakan peletak dasar dari teori penafsiran yang banyak
mengilhami model-model penafsiran era berikutnya.
Pemikirannya diyakini sebagai salah satu model penafsiran yang paling akurat
baik bagi kalangan mufassir bil ma’tsur maupun kalangan mufassir bi
al ra’yi. Bahkan secara tradisional beliau dipercaya sebagai salah seorang
tokoh yang telah berhasil menanamkan embrio Hermeneutika al-Qur’an[9].
Hermeneutika, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang
berarti ‘menafsirkan’. Kata ini sering diasosiasikan dengan nama salah seorang
Dewa Yunani, Hermes, yang dianggap sebagai utusan para Dewa bagi
manusia. Hermes adalah utusan para Dewa di langit untuk membawa pesan kepada
manusia. Unsurnya ada tiga : a. Objek penafsiran (teks) b. Perantara atau
penafsir c. Penyampaian agar bisa diterima[10].
Bagi kelompok bi al ma’tsur (penafsiran memalui tradisi) Ibnu Abbas
telah memberikan panduan penafsiran al-Qur’an terbaik, dengan membiarkan
al-Qur’an saling menjelaskan keterkaitan yang saling berhubungan antara satu
ayat dengan ayat lainnya. Sebab penafsiran al-Qur’an
dengan al-Qur’an sendirilah yang memiliki validitas kebenarannya yang paling
kuat. Bila tidak ditemukan penjelasan tersebut dari al-Qur’an, maka beliau
merujuk kepada hadits Nabi yang sahih. Kedudukan hadits yang merupakan penjelas
bagi al-Qur’an juga diyakini sebagai salah satu alternatif untuk menyingkap
makna-makna yang cukup sulit untuk dipahami. Kedua cara yang ditempuh oleh Ibnu
Abbas tersebut pada akhirnya menjadi standar baku bagi kelompok penafsir
al-Qur’an bi al ma’tsur untuk
masa selanjutnya.
Kelompok
mufassir bi al ra’yi (Penafsiran melalui nalar) juga memperoleh
inspirasi penafsiran dari metode yang telah digagas oleh Ibnu Abbas. Bagi Ibnu
Abbas, bila keterangan sebuah makna ayat
tidak ia temukan di dalam al-Qur’an atau dari hadits Nabi, maka beliau berupaya
untuk merujuknya kepada syair-syair Arab kuno ataupun
percakapan-percakapan Arab Badui yang memiliki tingkat kemurnian bahasa
yang tinggi. Keluarnya Ibnu dari lingkaran al-Qur’an dan Hadits Nabi tersebut
adalah sebuah keberanian dan merupakan ijtihad dalam bentuk lain. Dan
tentunya keberanian beliau dilandasai oleh niat dan keinginan yang kuat untuk menyingkap
makna-makna terdalam dari al-Qur’an. Seperti yang diceritakan sendiri oleh Ibnu
Abbas, bahwa beliau tidak pernah tahu arti dari kata fathiru al samawaat (
فاطر السموات ), sampai
suatu ketika beliau mendengar dua orang Arab Badui tengah bertikai
masalah sebuah sumur. Salah seorang dari Arab Badui mengatakan : ana
Fathortuha ( انا فطرتها ) (aku yang membuatnya). Dengan adanya
percakapan tersebut, barulah beliau mengetahui maksud dari kata : فطر[11].
Ibnu
Abbas memiliki kecenderungan untuk menggunakan akal fikiran yang jernih dalam
menafsirkan ayat al-Qur’an. Tidak melulu beliau menggunakan standar baku
penafsiran ayat dengan ayat lainnya, atau ayat dengan hadits Nabi. Beliau
berani berijtihad, dan diakui oleh kalangan sahabat. Contoh keberanian lain
tersebut adalah ketika Ibnu Umar meminta Ibnu Abbas untuk menafsirkan ayat,
óOs9urr& tt tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tFtR%2 $Z)ø?u $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( xsùr& tbqãZÏB÷sã ÇÌÉÈ
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan
bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara
keduanya. dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah
mereka tiada juga beriman? (Q.S. al-Anbiya’.30). Dalam penafsirannya Ibnu Abbas tidak merujuk
kepada al-Qur’an maupun hadits Nabi, akan tetapi merujuk kepada pemikirannya
sendiri. Beliau mengatakan bahwa langit dulu bersatu
dengan bumi. Yang dimaksud bersatu di sini langit tidak menurunkan hujan dan
bumi tidak menumbuhkan tanaman. Maka Allah memisahkan keduanya dengan
menurunkan hujan dari langit dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan di Bumi. Ibnu
Umar menanggapi penafsiran tersebut dengan mengatakan : “Aku begitu
kagum dengan penafsiran Ibnu Abbas. Dan sekarang aku tahu bahwa ia telah
mendapatkan anugerah ilmu.”[12] Dengan
demikian bibit-bibit penafsiran dengan menggunakan nalar telah dibangun oleh
Ibnu Abbas semenjak generasi kedua Ummat Islam.
Meskipun
Ibnu Abbas telah memulai upaya penafsiran menggunakan rasio, namun pemikiran
tafsirnya belum dibukukan dalam bentuk kitab tafsir yang sistematis. Untuk
mengetahui bentuk pemikiran beliau, masih harus menggunakan sistem periwayatan.
Hal itu disebabkan oleh belum berkembangnya sistem tulis menulis dengan baik
pada saat itu. Para ulama telah menetapkan jalur periwayatan yang akurat dan
memiliki tingkat kebenaran maksimal. Imam As Suyuthi mengatakan
“Pemikiran-pemikiran” Ibnu Abbas dalam bidang tafsir memiliki jalur periwayatan
yang sangat banyak. Dan riwayat yang paling baik adalah melalui jalur Ali
bin Abi Thalhah al Hasyimi dari Ibnu Abbas. Bahkan jalur periwayatan
ini telah diakui oleh Imam Bukhari di dalam kitab Sahihnya apabila
meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas[13].
Selain
jalur Ali bin Abi Thalhah, juga terdapat jalur lain yang juga dianggap
sebagai jalur yang baik untuk mengetahui pemikiran Ibnu Abbas. Jalur tersebut
adalah jalur periwayatan Qais bin Atha’ bin Saib dari Said bin Jabir dari
Ibnu Abbas. Jalur periwayatan ini menurut Bukhori dan Muslim adalah
jalur yang sahih. Juga terdapat jalur periwayatan dari Ibnu Ishaq dari Muhammad
bin Abi Muhammad dari Ikrimah atau dari Said bin Jabir dari Ibnu
Abbas. Namun jalur ini menurut Ibnu Jarir al Thabari dan Abi
Hatim adalah jalur periwayatan yang hasan, dan mereka juga
menggunakan jalur ini dalam meriwayatkan penafsiran-penafsiran dari Ibnu Abbas.
- Tafsir Ibnu Abbas
Pemikiran Ibnu Abbas yang berkaitan dengan Tafsir lebih banyak di pahami
melalui jalur periwayatannya, akan tetapi para ulama mencoba untuk memadukan
berbagai pemikiran Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Berbagai
riwayat telah dikumpulkan sehingga menjadi sebuah kitab yang menghimpun
pemikiran Ibnu Abbas dalam memahami al-Qur’an, mulai dari surat al Fatihah sampai
dengan surat al Naas. Kumpulan penafsiran tersebut diberi judul (تنویرالمقباس من تفسیر ابن عباس ) Tanwirul Miqbas min
Tafsiri Ibni Abbas. Riwayat-riwayat yang berkaitan dengan penafsiran
al-Qur’an ini dikumpulkan oleh Abi Thahir Muhammad bin Ya’qub al
Fairuzzabady al Syafi’I, pengarang kamus al-Muhith[14].
Menurut az Zahabi, segala sesuatu yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas
dalam tafsir ini hanya melalui jalur periwayatan Muhammad bin Marwan as
Suday al Shaghir dari Muhammad bin Saib al Kalbi dari Abu Shaleh dari
Ibnu Abbas. Secara pribadi, az- Zahaby meragukan seluruh
riwayat tersebut yang ada dalam tafsir tersebut dinisbahkan kepada Ibnu Abbas,
sebagaimana keraguan yang juga dialami oleh Imam Syafi’i. menurut asy-
Syafi’i, riwayat-riwayat yang berkaitan dengan Ibnu Abbas dalam masalah
tafsir hanya berjumlah ratusan. Artinya bila riwayat tersebut meliputi seluruh
ayat al-Qur’an yang berjumlah ribuan, maka ada sebagian yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya, karena ada riwayat tafsir yang buka dari
Ibnu Abbas[15].
Ibnu adalah sorang sahabat yang dikenal dengan sebutan Turjumanul Qur’an,
karena penafsiran Ibnu Abbas berbeda dengan sahabat-sahabat yang lain,
dalam menafsirkan al-Qur’an banyak merujuk kepada syair-syair Arab, karena
pengetahuannya tentang seluk beluk bahasa Arab dan pemahamannya akan sastra
Arab kuno lebih mendalam dan luas. Umar bin Khathab sendiri sangat menghormati
dan mempercayai tafsir-tafsirnya[16].
Riwayat-riwayat dari Ibnu Abbas sangat banyak jumlahnya dan berbeda-beda
tingkat kesahihan dan keda’ifannya. Para ulama telah menulusuri
riwayat-riwayat tersebut dan mengungkapkan kwalitas kesahihannya. Di antara
jalan periwayatannya yang paling masyhur adalah :
- Melalui Mu’awiyah bin Salih, dari ‘Ali bin Abi Talhah, dari Ibnu
Abbas. Inilah yang paling baik dari sekian banyak jalan penerimaan tafsir
Ibnu Abbas.
- Melalui Qais bin Muslim al-Kufi, dari ‘Ata’ bin as-Sa’ib, dari Sa’id
bin Jubair, dari Ibnu Abbas. Jalan ini juga sahih menurut syarat Bukhari
dan Muslim.
- Melalui Ibnu Ishaq, pengarang as-Siyar, dari Muhammad bin
Muhammad maula keluarga Zaid bin Sabit, dari Sa’id bin Jubair, dari
Ibnu Abbas. Jalan ini cukup baik, dan sanadnya Hasan (baik).
- Melalui Isma’il bin Abdurrahman as-Sadi al-Kabir, dari Abu Malik, dari
Ibnu Abbas.
- Melalui Abdul Malik bin Juraij, dari Ibnu Abbas. Jalur periwayatan ini
perlu diteliti kembali secrara seksama, karena beliau meriwayatkan setiap
ayat, sahih maupun tidak.
- Melalui ‘Atiyah al-‘Aufi, dari Ibnu Abbas. Jalur ini tidak dapat
diterima karena ‘Atiyah adalah seorang yang lemah, namun terkadang ia
dinilai hasan oleh Tirmizi.
- Melalui Muhammad bin as-Sa’ib al-Kalbi, dari Ibnu Salih, dari Ibnu
Abbas. Ini adalah jalur paling lemah meskipun al-Kalbi terkenal dalam
bidang tafsir, karena al-Kalbi ada sebagian yang mengatakan hadis-hadisnya
dipalsukan[17].
- Metode Penafsira Ibnu Abbas
Menurut hemat penulis dari yang telah ditelaah dalam kita Tanwirul
Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas, bahwa metode tafsir yang digunakan oleh pengarang kitab ini lebih
cenderung kepada tafsir bi al-Ma’tsur. Pada permulaan kitab ini yaitu
surat al-Fatihah dan al-Baqarah, oleh pengarang mengnisbahkan penafsiran kepada
Ibnu Abbas. Ibnu Abbas adalah seorang sahabat Rasul, maka jelas bahwa
penafsiran ini dikutib dari perkataan sahabat, atau tergolong kepada penafsiran
bi al-Ma’tsur.
Tafsir bil-ma’tsur
ialah salah satu jenis penafsiran
yang pertama kali muncul dalam dunia tafsir. Praktik penafsiran ini adalah ayat
yang terdapat dalam al-Qur’an al-Karim ditafsirkan dengan ayat-ayat yang lain,
atau dengan riwayat dari Rasulullah SAW, para Sahabat, dan juga para Tabi’in.
Hadits karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan Sahabat karena
merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau dengan apa yang dikatakan
tokoh-tokoh besar Tabi’in karena pada umumnya merekalah yang menerima dari para
sahabat[18].
- Corak Penafsiran Abbas
Para
mufassir yang menafsirkan Kitabulllah, setiap mufassir akan menghasilkan corak tafsir
yang berbeda tergantung dari latar belakang mufassir itu sendiri dan ilmu
pengetahuannya. Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai
berikut: “Ayat-ayat Al-Qur'an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan
cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan
tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat
banyak dibandingkan apa yang kita lihat[19].”
Dalam
kitab al-Miqbas, Fairuzzabady hanya menguraikan lughawiyah teks kitab dalam setiap kalimat, malah ada
yang setiap huruf dalam sauatu kalimat, tidak meneliti apa isi atau kandungan
dari setiap ayat. Maka disini oleh pemakalah bisa menghasilkan dari yang
telah ditelaah bahwa corak yang
digunakan untuk menafsirkan kitab ini adalah Lughawi. Corak Lughawi : Munculnya
diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan
orang-orang Arab sendiri di bidang bahasa sehingga dirasakan perlu untuk
menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Qur'an
di bidang ini.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Abdullah
bin Abbas adalah sosok sahabat Rasul yang berani
melakukan ijtihad dalam bidang tafsir. Selain menerangkan makna
ayat-ayat al-Qur’an melalui al-Qur’an sendiri atau melalui hadits Nabi, Ibnu
Abbas juga berupaya untuk menggali makna al-Qur’an dari syair-syair
Arab kuno dan ahli kitab. Ijtihad model ini sedikit banyak akan memberikan
inspirasi kepada kelompok mufassir bi al Ra’yi untuk mengembangkan penafsiran
al-Qur’an di kemudian hari. Dengan demikian, pemikirannya membuka dan mengilhami
berkembangnya dua macam kelompok penafsiran, yaitu penafsiran dengan tradisi
(bil ma’tsur) dan penafsiran menggunakan nalar (bil ra’yi).
Berbagai
buku yang berkaitan dengan Tafsir Ibnu Abbas tidaklah mewakili pemikiran
tafsir Ibnu Abbas. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya riwayat Ibnu Abbas yang
sampai kepada kita, dan jumlah riwayat tersebut hanya berada pada kisaran
ratusan saja.
Penulis,
Zalmiadi
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Fairuzzabady, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas, Bairut, Libanon, 1412.
Al-Khattan,
Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Bogor
: Pustaka Litera AntarNusa, 2006.
Quraisy Shihab, Membumikan
al-Qur’an, Mizan, Bandung, 2004.
Muhammad Husain az-Zahabi, al-Tafsir
wal Mufassirun, Maktabah, Wahbah, Kairo, 2003.
Mochtar Efendi, Ensiklopedi
Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya, Palembang, 2000.
Muhammad al Jazari, Asdul
Ghabah fi Ma’rifat al Sahabah, Darul Kutub al Ilmiyah. Kairo.
Munzin Hitami, Menangkap
Pesan-pesan Allah, Suska Press, Pekanbaru, 2006.
M. Ali Ash-Shabuni, Studi
Ilmu al-Qur’an, Maktabah al-Ghazali, Damaskus, 1991.
Al-Jauziyah Ibn Qayyim, Belajar
Mudah Ilmu al-Qur’an, Cet. I. Jakarta : Lentera, 2002.
Fahruddin Faiz, Hermeneutika
al-Qur’an, Yogyakarta : September 2005.
[2] Muhammad Husain
az-Zahabi, al-Tafsir wal Mufassirun, Maktabah, Wahbah, Kairo, 2003,
Jld.1, hlm. 50.
[4] Mochtar Efendi, Ensiklopedi
Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya, Palembang, Jld.1, 2000, hlm. 14.
[5] Al-Khattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Bogor
: Pustaka Litera AntarNusa, 2006.
[6] Muhammad al Jazari, Asdul
Ghabah fi Ma’rifat al Sahabah, Jld. III, Darul Kutub al Ilmiyah. Kairo.
[8] M. Ali Ash-Shabni, Studi
Ilmu al-Qur’an, Maktabah al-Ghazali, Damaskus, 1991.
[14] Al-Khattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Bogor
: Pustaka Litera AntarNusa, 2006.
[17] Muhammad Husain
az-Zahabi, al-Tafsir wal Mufassirun, Maktabah, Wahbah, Kairo, 2003.
0 Response to "Kajian Tafsir Ibnu Abbas"
Post a Comment