Majazul al-Qur'an

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an adalah satu mushaf yang diwahyukan kepada Rasul Allah untuk disampaikan kepada ummat, dan juga sebagai petunjuk bagi sekalian manusia. Banyak kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an, dan juga permasalahan yang melingkupi semua kejadian yang sudah terjadi, yang sedang terjadi dan juga yang akan terjadi.

Al-qur’an diturunkan dengan bentuk tulisan yang cukup rapi dan sempurna sehingga tidak ada orang yang mampu mencuplikatkan gaya dan bentuk tulisan tersebut. Namun bukan hanya itu, memahami kandungan yang terdapat di dalamnya baik dalam bentuk suatu ayat maupun pada sebuah kalimat. Maka karna ini oleh para ulama telah mendapat Hikmah dari Allah untuk menguraikan semua isi yang terdapat dalam al-Qur’an, malai dari tafsirnya hingga faedah-faedah yang terkandung dalam sebuah kalimat al-Qur’an.

Maka, dalam makalah ini kami menejelaskan tentang kalimat majaz yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an, bagaimana kedudukan arti hakikatnya pada sebuah ayat dan juga arti yang bukan hakikat yaitu yang disebut dengan arti majaz. Sebagaimana dasar-dasar majaz yang telah ita pelajari sebelumnya, dan inilah yang menjadi topik keterkaitannya dalam makalah ini.













BAB II PEMBAHASAN
A.    Defenisi Majaz al-Qur’an
Majaz adalah kalimat yang digunakan bukan pada tempatnya yaitu bukan makna yang hakiki yang dikehendakinya, karena adanya suatu hubungan atau qarinah yang menunjukkannya kepada makna lain selain makna hakikatnya. Isitilah lafadh majaz dalam kalimat ‘arabiyah ada dua macam, Aqli dan Lughawi  :
1.      Majaz Aqli
Kalimat yang ada maknanya dengan makna isnad (sandaran) kepada selain yang dikehendakinya atau (ila ghairi ma huwa lahu).
2.      Majaz Lughawi
Kalimat atau lafadh yang digunakan pada selain makna hakikatnya karena adanya qarinah mani’ahnya untuk  ditunjuki kepada makna yang hakiki.
Kemudian majaz Lughawi juga terbagi kepada dua : Isti’arah dan Mursal
استعارة   و  المرسل

نحو يجعلون اصابعهم في اذانهم                                                                                        اصلية

تصريحية   المكنية                                                                                                    تبعية

            Majaz dinamakan dengan isti’arah karena pemakaian sebuah kalimat bukan dengan makna hakikatnya. Sedangkan mursal, karena ‘alaqahnya itu selain dari musyabbah maka disebutkan dengan majaz mursal. Kemudian kalau majaz yang jelas disebutkan musyabbah bih-nya, maka dinamakan dengan isti’arah tashrihiyah. Dan dikatakan dengan isti’arah tab’iyah karena telah dahulu terjadi majaz pada kalimat masdar dari tasrif fi’ilnya.

B.     Ayat-ayat yang Menggunakan Makna Majaz
1.      Q. S. Furqan. 47.
uqèdur Ï%©!$# Ÿ@yèy_ ãNä3s9 Ÿ@øŠ©9$# $U$t7Ï9 tPöq¨Z9$#ur $Y?$t7ß Ÿ@yèy_ur u$pk¨]9$# #Yqà±èS ÇÍÐÈ  
Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.(al-Furqan 47).
Dalam ayat ini yang menjadi pembahasan tentang majaz adalah pada lafadh لباسا dan سباتا, dan disini kami bisa menyimpulkan bahwa kedua kalimat ini merupakan majaz mursal yang ‘alaqahnya haliyah karena kedua lafadh tersebut mengandung makna pentasybihan. Dinamakan dengan majaz mursal karena ‘alaqahnya selain musyabbahah, dan tidak disebutkan qarinah mani’ahnya.
لباسا كالظلم (Pakaian sama dengan Kegelapan). Libasaa adalah musyabbah bih dan Zulum adalah musyabbah. Setelah terjadi pentasybihan, maka sahlah sebuah kalimat dikatakan majaz.
            Menurut analisis kami bahwa  Allah menjadikan malam sebagai pakaian dan tidur sebagai istirahat, ini terdapat pemaknaan bukan pada tempat yang dikehendaki lafadh itu sendiri karena tidak mungkin pakaian dapat disamakan dengan  malam, logikanya pakaian tidak bisa menutupi malam, maka kata-kata libasa perlu di tasybihkan dengan kalimat lain yaitu zulum. Sedangkan ‘alaqahnya adalah الحالية.

2.      Q. S. ar-Rum. 35.
÷Pr& $uZø9tRr& óOÎgøŠn=tæ $YZ»sÜù=ß uqßgsù ãN¯=s3tFtƒ $yJÎ/ (#qçR%x. ¾ÏmÎ/ tbqä.ÎŽô³ç ÇÌÎÈ  
Atau pernahkah Kami menurunkan kepada mereka keterangan, lalu keterangan itu menunjukkan (kebenaran) apa yang mereka selalu mempersekutukan dengan Tuhan.(ar-Rum 35)
سلطانا dari segi kalimat ‘arabiyah yang artinya menurut kamus adalah Raja. Tapi dalam ayat ini tidak sesuai dengan makna yang dikehendakinya yaitu bukan lagi diartikan dengan makna hakiki, tetapi diartikan dengan makna majazi yang artinya adalah (bukti), sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab tafsir az-Zamakhsyari :
Nah, jelasalah bahwa dalam ini ada terkandung makna majaz. Dan disini kami bisa menyimpulkan pemahaman bahwa kalimat majaz yang terdapat dalam ayat di atas adalah سلطانا yang diartikan bukan dengan makna hakikatnya, dan ini juga tergolong kedalam majaz mursal  dengan ‘alaqahnya yaitu المسبب.

3.      Q. S. Sajadah. 10.
(#þqä9$s%ur #sŒÏär& $uZù=n=|Ê Îû ÇÚöF{$# $¯RÏär& Å"s9 9,ù=yz ¤ƒÏy` 4 ö@t/ Nèd Ïä!$s)Î=Î/ öNÍkÍh5u tbrãÏÿ»x. ÇÊÉÈ  
Dan mereka berkata: "Apakah bila Kami telah lenyap (hancur) dalam tanah, Kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru bahkan mereka ingkar akan menemui Tuhannya.(as-Sajadah 10).
            Dalam ayat ini, sejauh yang kami pahami bahwa yang terjadi permasalahan majaz adalah pada kalimat dhalalna fi al-ardhi. Pada kalimat itu kalau kita pahami dengan makna hakikatnya akan sulit untuk dimengerti, maka harus kita artikan dengan makna majazi sebagaimana yang telah diumpamakan dalam kitab tafsir az- Zamakhsyari.
Nah, kami mengambil kesimpulan bahwa dalam ayat ini ada mengandung makna majaz isti’arah musarrahah, karena jelas disebutkan musyabbah bih-nya yaitu al-Ardhi (bumi)  sedangkan musyabbah adalah turaaban (tanah). Analisanya adalah, tidak mungkin maksud dalam ayat ini sesat dalam bumi akan diberikan kehidupan baru, akan tetapi lenyap dari bumi dan telah menjadi tanah, baru diberikan kehidupan yang baru yaitu di alam kubur. Dinamakan dengan majaz Isti’arah Musarrahah karena jelas disebutkan Musyabbah bih-nya.

4.      Q. S. al-Ahzab. 46.
$·ŠÏã#yŠur n<Î) «!$# ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ %[`#uŽÅ ur #ZŽÏYB ÇÍÏÈ  
Dan untuk Jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk Jadi cahaya yang menerangi.(al-Ahzab 46).
            Ayat ini yang menjadi objek pembahasan tentang majaz adalah pada kalimat da’iyan ilallah (!$#n<Î)$·ŠÏã#yŠur). Dalam tafsir Ibn Katsir dijelaskan bahwa Nabi Muhammad adalah yang menyeru kepada Allah, kata-kata menyeru kepada Allah adalah menyeru kepada pengamalan

terhadap agama Allah yaitu agama Islam yang dibawa oleh Nabi serta menjauhkan larangan-Nya. Maka dengan demikian pemahaman ayat ini dalam tafsir Ibn Katsir, kami dapat menyimpulkan bahwa ayat ini mengandung makna majaz yaitu majaz mursal.
            Majaz mursal adalah majaz yang ‘alaqahnya itu selain dari musyabbah, sedemikian dengan ayat di atas ahwa ‘alaqahnya adalah haliyah. Majaz mural yang disebutkan Hal-nya tapi dimaksudkan adalah Mahal-nya. Allah adalah yang maha segalanya, pada-Nyalah tempat kita meminta dan mengharap segala sesuatu.




BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kalimat-kalimat majaz  dalam al-Qur’an memang sangat banyak kita dapati, tapi untuk mengetahui bagaimana  penggunaannya dan kemana arah maksudnya yang sulit untuk kita pahami. Sebagaimana pembahasan dalam makalah ini bahwa ayat al-Qur’an memang tidak semuanya pengertian itu bisa kita pahami dengan makna hakikatnya ayat itu, tapi perlu juga untuk kita kaitkan dengan makna majazi.
Dari segi pembagian majaz itu sendiri ada beberapa jenis yang telah dijelaskan oleh para ulama salaf, tujuannya untuk memudahkan bagi muslimin dalam memahami maksud dan tujuan sebuah ayat al-Qur’an. Maka sangat perlu bagi kita semua untuk memahami semua yang berkaitan dengan majaz dan kaedah-kaedahnya agar mudah kita tau ketika jumpa dalam memahami ayat.



















Daftar Pustaka
            Drs. H. Ghatibul Umam. Kaidah Tata Bahasa Arab, Cet. 1. Darul Ulum Press      Jakarta : 1989.
            Syaik Manna’ al-Qattan. Pengantar Studi Ilmu Qur’an. Cet. 1. Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006.
            Said Ahmad bin Zaini Dahlan. Risalah Ma’qulatil Ulum. Maktabah Semarang (al-Kitab) Lughatul ‘Arabiyah tentang Ilmu Balaghah.
            Abu Qasim Muhammad bin Umar az-Zamakhsyari. Tafsir al-Kasysyaf Haqaiqul ‘Iwadhut al-Takwil. Maktabah Pakistan 1998.
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Mu-assasah Dar al-Hilal, Kairo, Cet. 1, 1994.



Related Posts:

0 Response to "Majazul al-Qur'an"

Post a Comment