BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
studi Al-Qur’an, nama al-Baidhawi dikenal sebagai salah seorang mufassir yang
cukup terkenal dengan kitab tafsirnya Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil. Kitab
ini sangat popular baik di kalangan umat Islam maupun non-Islam. Populeritas
kitab Tafsir al-Baidhawi di dunia Barat konon menyamai populernya kitab Tafsir
Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuti dan Jalaluddin Al-Mahalli di kalangan umat
Islam. Beberapa bagian dari tafsir al-Baidhawi ini telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dan Prancis. Bahkan kitab ini lebih luas daripada kitab tafsir
Jalalain itu, serta mendalam dan meyakinkan sehingga sering dijadikan sandaran
oleh para pencari ilmu terutama ketika berkaitan dengan pembentukkan kata.
Dan
atas karunia Allah SWT, kitab ini diterima dengan baik dikalangan jumhur.
Diantara meraka ada yang menjadikannya sebagai pijakan dengan melakukan kajian
kritis, ada mengerumuninya untuk mengkaji dan membuat hasyiyah (komentar)
terhadapnya. Ada yang membuat hasyiyah secara lengkap, ada yang membuatnya
untuk sebagian dari kitab tafsir tersebut. Para ulama memberikan perhatian yang
besar terhadap tafsir ini. Sehingga banyak sekali hasyiyah dari para ulama yang
datang setelahnya. Kalau Al-Dzahabi memperkirakan jumlah komentar terhadap kitab
tafsir al-Baidhawi itu sekitar empat puluhan, Edwin Calverley menyebutkan
sekitar delapan puluhan, dan ada juga yang menyebutkan lebih dari 120, maka
penelitian yang dilakukan oleh Al-Majma’ Al-Malaki telah menemukan lebih dari
tiga ratus hasyiyah mendasarkan komentarnya pada tafsir al-Baidhawi. Di
Indonesia pun, kitab tafsir ini juga digunakan oleh berbagai Pesantren. Isinya
yang cenderung mendukung pandangan-pandangan Asy’ariyah dan juga Sunniy
tampaknya yang membuat kitab tafsir ini diterima dengan baik oleh kalangan
Pesantren.
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi dan Setting Historis Imam
al-Baidhawi
Nama
lengkapnya adalah Nashiruddin Abu Al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad bin
Ali al-Baidhawi Al-Syairazi. Beliau berasal dari sebuah desa bernama Baidho’ bagian dari Negara Persia
(Iran). Dia adalah hakim di kota Syairaz dan sekaligus ahli tafsir al-Qur’an,
menyusun banyak ilmu pengetahuan, dan dengan mudah meraih pangkat itu setelah
kajadian yang membuktikan kepandaian dan kejeniusannya. Disanalah
mula-mula ilmu beliau tumbuh dan berkembang. Dan di sana pula beliau mulai
bersentuhan dengan ilmu fiqih dan Ushul fiqh, manthiq, filsafat, kalam dan
adab, dan memasukkan ilmu-ilmu bahasa Arab dan Sastra kepada ilmu-ilmu Syara’ dan
Hukum[1].
Selain
itu, menurut Qadhi Syuhbah dalam karyanya, beliau memiliki banyak karangan,
seorang ‘alim ulama di Azerbaijan, dan seorang guru besar di daerah itu. Beliau
juga menjabat sebagai Qadhi (hakim) di Syairaz. Al-Baidhawi hidup dalam suasana
politik yang tidak menentu. Sultan Abu Bakr yang memegang tampuk kekuasaan di
Syiraz saat itu sangat lemah, tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk
membangun tatanan masyarakat yang baik. Bukan hanya supermasi keadilan yang
lemah, namun para elit yang berkuasa pun hidup dalam budaya yang boros.
Intervensi penguasa terhadap peradilan pun demikian kuatnya, sehingga banyak
fuqaha yang mengkhawatirkan kemungkinan diperintah untuk mengeluarkan fatwa
yang bertentangan dengan syari’at Islam[2].
Mungkin,
karena pertimbangan inilah -setelah mengikuti saran guru spiritualnya, Syaikh Muhammad
Al-Khata’i yang memintanya keluar dari pemerintahan- yang menyebabkan
al-Baidhawi mengundurkan diri dari jabatan hakim. Selepas mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai hakim, al-Baidhawi mengembara ke Tibriz hingga akhir
hayatnya. Di kota inilah beliau berhasil menulis salah satu karya monumentalnya
berupa tafsir yang berjudul Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil, yang menjadi
perhatian tulisan ini. Mengenai tahun meninggalnya, tidak ada kesepakatan di
antara ulama. Manurut Ibnu Katsir dan yang lainnya, beliau wafat pada tahun 685
M, sedangkan menurut Al-Subkiy dan Al-Nawawiy wafat pada tahun 691 M.
B. Karya-karya
Imam al-Baidhawi
Sebagai seorang ulama, sebagaimana telah disebutkan, beliau memiliki
pengetahuan yang cukup luas, bukan hanya dalam bidang tafsir melainkan juga
dalam bidang ushul fiqh, fiqh, teologi, nahwu, manthiq, dan sejarah. Karya
karya beliau pun meliputi bidang tersebut. Dari berpuluh-puluh karyanya bisa
disebut antara lain Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil (tafsir), Syarah Masyabih
(hadits), Tawali Al-Anwar, Al-Misbah fi Al-Ushul Al-Din, Al-Idah fi Al-Ushul
Al-Din (teologi), Syarah Al-Mahsul, Syarah Al-Muntakhab, Mirsyad Al-Ifham ila
Mabadi Al-Kalam, Syarah Minhaj Al-Wushul, Minhaj Al-Wushul ila Al-Ushul (ushul
fiqh), Syarah Al-Tanbih, Al-Ghayah Al-Quswa fi Dirasat Al-Fatawa (fiqh), Syarah
Kifayah fi Al-Nahw, Al-Lubb fi Al-Nahw (Nahwu), Kitab Al-Manthiq (manthiq),
Al-Tahdzib wa Al-Akhlaq (tasawuf), dan Nizam Al-Tawarikh (sejarah). Dari
kitab-kitab tersebut menurut Al-Dzahabiy, hanya tiga karya yang cukup dikenal
para ulama, yaitu, Minhaj Al-Wushul ila Al-Ushul dan Syarh-nya (ushl fiqh),
Tawali Al-Anwar (teologi), dan Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil (tafsir)[3].
C. Sejarah Penulisan
Tafsir al-Baidhawi
Kitab
tafsir al-Baidhawi dinamainya sendiri dengan Anwar Al-Tanzil Wa Asrar
Al-Ta’wil. Hal ini tampak dalam dari pernyataan beliau sendiri sebagaimana
terdapat dalam pengantar tafsirnya sebagaimana dikutip oleh Al-Dzahabi: “Setelah
melakukan shalat istikharah, saya memutuskan untuk melakukan apa yang telah
saya niatkan, yaitu mulai menulis dan menyelesaikan apa yang telah saya
harapkan. Saya akan menamakan buku ini, setelah selesai penulisannya, dengan
Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil”[4].
Al-Baidhawi
menyebutkan dua alasan yang mendesaknya untuk menulis buku ini. Pertama, bagi
al-Baidhawi, tafsir dianggap sebagai ilmu yang tertinggi di antara ilmu-ilmu
agama yang lain. Kedua, melaksanakan apa yang telah diniatkan sejak lama yang
berisi tentang fikiran-fikiran terbaik. Setelah merasa mampu melakukan
cita-cita itu, mulailah ditulis kitab tafsir Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil
tersebut. Dalam penulisan tafsirnya, beliau dibimbing oleh gurunya, Syaikh
Muhammad Al-Khata’i, ulama yang menyarankan al-Baidhawi untuk mundur dari
jabatannya sebagai hakim. Penulisan kitab tafsir inipun dikaukan secara
ringkas, tanpa menguraikannya secara panjang lebar. Menurut Montgomeri Watt,
hal ini dilakukan al-Baidhawi karena buku tersebut dimaksudkan sebagai buku
pedoman untuk pengajaran di sekolah tinggi atau sekolah Mesjid sehingga
memberikan secara ringkas semua yang paling baik dan paling masuk akal dari
penjelasan-penjelasan yang dikemukakan para ulama dan mufassir sebelumnya[5].
Beberapa
penilaian terhadap tafsir al-Baidhawi menyimpulkan bahwa sang pengarang
memiliki ketergantungan pada kitab-kitab tafsir terdahulu, sehingga ada
beberapa orang yang menganggap tafsir ini sebagai mukhtashar dari tafsir Al-Kasysyaf
karya Al-Zamakhsyari, disarikan dalam hal i’rab, ma’ani dan bayan, Mafatih
Al-Ghaibi karya Fakhruddin Al-Razi, disarikan dalam hal filsafat dan teologi,
dan dari Al-Raghib Al-Asfahaniy disarikan dalam hal asal-usul kata. Terlepas
dari penilaian di atas, dalam muqaddimah-nya, al-Baidhawi mengemukakan bahwa
ada dua macam sumber yang digunakan sebagai rujukan dalam menulis tafsirnya.
Pertama, komentar dari para sahabat, tabi’in, dan para ulama salaf yang
termasuk dalam periode normatif. Kedua, komentar yang terdapat dalam
kitab-kitab tafsir sebelum al-Baidhawi. Mengenai periode yang pertama,
sebagaimana dikutip Yusuf Rahman dari Winand Fell dalam karyanya Indices ad
Beidhawi Commentarium in Coranum, nama Ibnu Abbas adalah yang paling dikutip
oleh al-Baidhawi. Sementara dari Ibnu Mas’ud dikutip sebanyak 14 kali, Ubay bin
Ka’ab 4 kali, Abdullah bin Zubair 4 kali, Abu Musa Al-Asy’ari 2 kali dan Zaid
bin Tsabit 1 kali. Dari kalangan tabi’in, al-Baidhawi mengutip Mujahid 5 kali,
Al-Dahhak 3 kali, Qatadah 3 kali, Ikrimah 3 kali, dan Abu Al-’Aliyah sebanyak 1
kali[6].
D. Bentuk dan
Corak Penafsiran al-Baidhawi
Tafsir
karangan al-Baidhawi ini termasuk tafsir yang berukuran menengah. Isinya
mencoba memadukan antara tafsir dan takwil sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa
dan syara’, atau dengan kata lain, memadukan tafsir secara bi al-ma’tsur dan bi
al-ra’yi sekaligus. Artinya bahwa al-Baidhawi tidak hanya memasukkan
riwayat-riwayat dari Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an, yang
menjadi ciri khas dalam penafsiran bi al-ma’tsur, namun juga menggunakan
ijtihad untuk memperjelas analisisnya atau memperkuat argumentasinya.
Dikatakan bahwa tafsir ini merupakan ringkasan (ikhtishar) dari tafsir Al-Kasysyaf dalam hal i’rab, ma’aniy, dan bayan, dan dari tafsir Al-Kabir atau yang dikenal dengan tafsir Mafatih al-Ghaibi dalam hal filsafat dan teologi, serta dari tafsir al-Raghib al-Asfahaniy dalam hal asal-usul kata. Dari tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari, al-Baidhawi dipengaruhi dalam hal pendekatan ketika menjelaskan lafadh, tarakib, dan nakl al-balaghah[7].
Dikatakan bahwa tafsir ini merupakan ringkasan (ikhtishar) dari tafsir Al-Kasysyaf dalam hal i’rab, ma’aniy, dan bayan, dan dari tafsir Al-Kabir atau yang dikenal dengan tafsir Mafatih al-Ghaibi dalam hal filsafat dan teologi, serta dari tafsir al-Raghib al-Asfahaniy dalam hal asal-usul kata. Dari tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari, al-Baidhawi dipengaruhi dalam hal pendekatan ketika menjelaskan lafadh, tarakib, dan nakl al-balaghah[7].
Dalam
hal penetapan hukum, tafsirnya dipengaruhi oleh teologi ahlus-sunnah, yakni
dipengaruhi oleh tafsir Mafatih al-Ghaibi karya Imam Fakhruddin ar-Raziy. Walaupun
begitu tafsir ini merupakan ringkasan dari tafsir Al-Kasysyaf, namun beliau
meninggalkan aspek-aspek kemuktazilahannya. Namun kadang dalam beberapa hal,
beliau sependapat juga dengan pendapat penulis al-Kasysyaf. Seperti halnya
ketika beliau menafsirkan surat Al-Baqarah: 275;
الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Kadang pula,
beliau mengemukakan pandangan kaum muktazilah, namun pada akhirnya beliau
mentarjih pandangan madzhab ahlus-sunnah. Seperti halnya ketika beliau
menafsirkan surat Al-Baqarah:2-3:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ{2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ {3}
Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang yang percaya kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.
Setelah memberikan penjelasan secukupnya mengenai ayat tersebut, al-Baidhawi mencoba untuk mengemukakan makna ”iman” dan ”munafik” menurut pandangan madzhab ahlus-sunnah, mu’tazilah, dan khawarij. Namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan masdzhab Ahlus-sunnah[8].
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ{2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ {3}
Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang yang percaya kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.
Setelah memberikan penjelasan secukupnya mengenai ayat tersebut, al-Baidhawi mencoba untuk mengemukakan makna ”iman” dan ”munafik” menurut pandangan madzhab ahlus-sunnah, mu’tazilah, dan khawarij. Namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan masdzhab Ahlus-sunnah[8].
Dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, al-Baidhawi sebenarnya tidak memiliki
kecenderungan khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara muthlak,
misalnya fiqh, aqidah atau yang lainnya. Karyanya ini justru mencakup berbagai
corak, baik kebahasaan, akidah, filsafat, fiqh, bahkan tasawuf. Tentunya ini didukung
oleh basis awal keilmuan beliau dan juga aspek-aspek yang mempengaruhi beliau
dalam penafsiran, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yang jelas, sebagai
seorang Sunni, penafsiran al-Baidhawi memang cenderung kepada madzhab yang dianutnya
tersebut. Dan secara otomatis, kitab tafsir ini lebih kental nuansa teologisnya[9].
Di
samping itu, al-Baidhawi memberikan perhatian terhadap ayat-ayat alam semesta
(ayat al-kauniyyah). Ketika menjumpai ayat-ayat semacam itu, beliau tidak
sampai membiarkannya tanpa memberikan penjelasan yang panjang lebar untuk
menerangkan hal-hal yang menyangkut alam semesta dan ilmu-ilmu kealaman. Hal
inilah yang menguatkan perkiraan al-Dzahabi bahwa dalam hal seperti ini al-Baidhawi
terpengaruh oleh penafsiran Fakhruddin ar-Raziy. Sebagai contoh ketika beliau
menafsirkan Qs. Al-Shaffat: 10;
فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ{10} ”Maka ia diburu oleh bola api yang menyala-nyala serta menyilaukan”
Dalam hal ini beliau memberikan penjelasan tentang apa yang disebut dengan syihab (bola api) dalam ayat tersebut. Al-Baidhawi menyebutkan bahwa ”Dikatakan bahwa bola api itu adalah uap yang menguap kemudian menyala.
فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ{10} ”Maka ia diburu oleh bola api yang menyala-nyala serta menyilaukan”
Dalam hal ini beliau memberikan penjelasan tentang apa yang disebut dengan syihab (bola api) dalam ayat tersebut. Al-Baidhawi menyebutkan bahwa ”Dikatakan bahwa bola api itu adalah uap yang menguap kemudian menyala.
Dari
segi sistematika penyusunan, kitab tafsir yang terdiri dari jilid ini, diawali
dengan menyebutkan basmalah, tahmid, penjelasan tentnag kemukjizatan Al-Qur’an,
signifikansi ilmu tafsir, latar belakang penulisan kitab, baru kemudian
diuraikan penafsirannya terhadap Al-Qur’an. Di akhir kitab tafsirnya, al-Baidhawi
berupaya untuk ”mempromosikan” keunggulan dan kehebatan tafsirnya yang dikemas
dengan menggunakan bahasa yang singkat dan praktis dengan harapan agar dapat
dikonsumsi secara mudah oleh para pemabaca. Bacaan tahmid dan shalawat menjadi
penutup kitab tafsir ini. Tafsir ini memperlihatkan kepenguasaan dan kedalaman
ilmu pengarangnya, tetapi juga bercorak ringkas. Beliau tidak mencantumkan satu
kata pun jika tanpa adanya pertimbangan. Karena itu banyak ditulis catatan
pinggir (hasyiyah) untuk menerangkan kepelikan-kepelikannya dan menguraikan
rumusan-rumusannya. Diantara catatan-catatan pinggir tersebut adalah catatan
pinggir Imam Syihab al-Khalaji, hasyiyah Zadah, dan hasyiyah Al-Nawawi.
Banyaknya hasyiyah ini mengindikasikan sangat ringkasnya kitab tafsir
al-Baidhawi ini[10].
E. Metode Penafsiran al-Baidhawi
Kitab Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil sebagaimana
kitab-kitab tafsir saat ini, menggunakan metodologi tahlili (analisis) yang berupaya
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya secara berurutan sesuai
dengan urutan mushaf usmani, dari ayat ke ayat, serta dari surat ke surat mulai
surat Al-Fatihah hingga surat Al-Nas. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Baidhawi
memanfaatkan berbagai sumber. Yaitu, ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, pendapat para
sahabat dan tabi’in, dan pandangan ulama sebelumnya. Penggunaan tata bahasa dan
qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan
penafsiran yang dilakukan al-Baidhawi. Demikian pula beliau memfungsikan akal
fikirannya lalu menyisipkannya secara mahir dan mengagumkan dan menyuimpulkan
secara teliti dalam susunan kata yang ringkas dan ungkapan yang kadang sulit
difahami dan samar kecuali oleh orang yang memiliki fikiran yang tajam dan akal
yang cemerlang[11].
Dalam
mengoperasikan penafsirannya, langkah pertama yang dilakukan al-Baidhawi adalah
menjelaskan tempat turunnya surat makkiy atau madaniy dan jumlah ayat dari
surat yang sedang ditafsirkan tersebut. Setelah itu, al-Baidhawi menjelaskan
makna ayat satu persatu persatu baik dengan menggunakan analisis kebahasaan,
menyitir hadits-hadits nabi maupun qira’ah. Menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan
menghubungkannya dengan ayat yang lain atau sering disebut dengan ”hubungan
internal” merupakan bagian penting dalam tafsir al-Baidhawi. Metode ini
dilakukan dengan cara menghubungkan kata dalam ayat yang sedang ditafsirkan
dengan ayat lain dalam surat yang sama, atau mencari makna kandungan ayat yang
sedang ditafsirkan dengan melihat pada ayat dan surat yang lain dari Al-Qur’an.
Penggunaan ”hubungan internal” (munasabah) ini tampak sangat sering dalam
tafsir al-Baidhawi. Di akhir hampir setiap surat, al-Baidhawi menyertakan
hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan surat yang baru saja
ditafsirkan dan pahala bagi orang yang membaca surat itu sebagaimana yang
dilakukan oleh Zamakhsyari dalam tafsirnya[12].
Namun, dalam penggunaan hadits tersebut beliau tidak menjelaskan derajat hadits
itu apakah shahih, hasan, dha’if, atau maudhu’. Bahkan dalam hal ini,
Al-Dzahabi menyatakan bahwa hadits itu maudhu’ menurut kesepakatan ulama
hadits. Walaupun begitu adanya, al-Baidhawi memberikan porsi yang sangat besar
kepada hadits Nabi SAW dalam menafsirkan Al-Qur’an. Selain hadits-hadits yang
lebih bersifat untuk menunjukkan keutamaan surat-surat yang ditafsirkan dan
pahala bagi pembacanya sebagaimana disebutkan di atas, menurut Muhammad Yusuf,
hadits-hadits tersebut dikategorikan juga sebagai penjelas ayat yang sedang ditafsirkan
dan sebagai asbab al-nuzul dari suatu ayat atau surat.
Kisah-kisah
Israiliyat yang menjadi bagian penting dalam kitab-kitab sebelumnya, dalam
tafsir al-Baidhawi diminimalisir. Kalaupun mengutip kisah-kisah tersebut, al-Baidhawi
menyebutkannya dengan menggunakan istilah ruwiya (diriwayatkan) atau qila
(dikatakan). Menurut Al-Dzahabi, penggunaan kedua istilah itu menunjukkan bahwa
al-Baidhawi mengisyaratkan akan kelemahan kualitas kisah-kisah Israiliyat
tersebut yang tidak bisa diterima oleh akal dan logika. Contohnya adalah ketika
beliau menafsirkan surat Al-Naml: 22;
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَالَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ {22} Tidak lama kemudian datanglah Hud-Hud seraya berkata: Aku telah menemukan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Aku datang dari negeri Saba’ dengan membawa berita yang meyakinkan”. Dalam hal ini, setelah menafsirkan secar ringkas ayat tersebut dan mengemukakan macam-macam bacaan dari lafadh makaksa, saba’ serta bacaan tajwid pada beberapa kata, al-Baidhawi mengemukakan, ”Diriwayatkan bahwa Nabi Sulaiman As setelah menyelesaiakan bangunan Bait Al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk menunaikan ibadah haji”. Setelah mengutip sebuah kisah israiliyat tentang pengembaraan Nabi Sulaiman dari Makkah ke Sana’a tanpa menyebutkan kualitas riwayat tersebut dan juga tidak menafikannya beliau berkata: ”Barangkali di antara keajaiban kekuasaan Allah yang dikhususkan bagi hamba_hamba-Nya terdapat perkara-perkara yang lebih besar darinya, yang menyebabkan orang-orang yang mengetahui kekuasaan-Nya akan mengagungkan-Nya, dan sebaliknya, orang-orang yang mengingkarinya akan menolaknya”. Sebagaimana telah disebutkan bahwa penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan al-Baidhawi. Dengan demikian pendekatan bahasa menjadi ”menu utama” dalam setiap penafsirannya[13].
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَالَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ {22} Tidak lama kemudian datanglah Hud-Hud seraya berkata: Aku telah menemukan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Aku datang dari negeri Saba’ dengan membawa berita yang meyakinkan”. Dalam hal ini, setelah menafsirkan secar ringkas ayat tersebut dan mengemukakan macam-macam bacaan dari lafadh makaksa, saba’ serta bacaan tajwid pada beberapa kata, al-Baidhawi mengemukakan, ”Diriwayatkan bahwa Nabi Sulaiman As setelah menyelesaiakan bangunan Bait Al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk menunaikan ibadah haji”. Setelah mengutip sebuah kisah israiliyat tentang pengembaraan Nabi Sulaiman dari Makkah ke Sana’a tanpa menyebutkan kualitas riwayat tersebut dan juga tidak menafikannya beliau berkata: ”Barangkali di antara keajaiban kekuasaan Allah yang dikhususkan bagi hamba_hamba-Nya terdapat perkara-perkara yang lebih besar darinya, yang menyebabkan orang-orang yang mengetahui kekuasaan-Nya akan mengagungkan-Nya, dan sebaliknya, orang-orang yang mengingkarinya akan menolaknya”. Sebagaimana telah disebutkan bahwa penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan al-Baidhawi. Dengan demikian pendekatan bahasa menjadi ”menu utama” dalam setiap penafsirannya[13].
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Kitab
tafsir ini dikenal dengan sebutan Tafsir al-Baidhawi. Tafsir ini merupakan
salah satu kitab yang populer di dunia Islam, yang memiliki banyak manfaat,
gaya bahasa yang indah, perumpamaan yang manis, dan banyak diminati para pakar
dan cendekiawan terkemuka untuk mengkaji dan memberi catatan pinggir (komentar)
terhadapnya, kitab yang terkenal memberikan catatan pinggir terhadap Tafsir
al-Baidhawi di antaranya adalah catatan pinggir Syekh Zadah dan Syihab
al-Khaffaji (‘Inâyat al-Qâdhi).
Isinya
dibuat semodel ringkasan (ikhtishâr), mengandung berbagai pemikiran,
pandangan-pandangannya diarahkan pada banyak dimensi gramatika bahasa, fiqh,
dan ushul yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an, dan begitu juga dari sudut
pandang bacaan (qirâat) dan makna intrinsik ayat (isyârât), serta
mengkombinasikan antara tafsir dan takwil berdasarkan kaidah-kaidah bahasa dan
syar’i.
Metode
penafsirannya dibuat sebagaimana umumnya kitab-kitab tafsir, menyebutkan nama
surat, mengaitkan dengan konteks turunnya, baru menafsirkan ayat demi ayat,
serta mengangkat hadis tentang keutamaannya pada akhir surat tersebut.
Penafsiran
yang dilakukan al-Baidhawi dalam hal gramatika bahasa, ma’ani, dan bayan
merujuk pada kitab Al-Kasysyâf karya Az-Zamakhsyari, sampai-sampai
dikategorikan sebagai “ikhtishâr al-Kasysyâf” karena itu. Akan tetapi,
al-Baidhawi meninggalkan pandangan-pandangan Mu’tazilahnya dan berpegang pada
madzhab Asy’ariyah dalam masalah teologi dan kalam, demikian menurut
adz-Dzahabi. Selain itu, juga merujuk pada kitab At-Tafsîr al-Kabîr milik
Ar-Razi dalam kaitannya dengan hikmah dan kalam, serta Jâmi’ at-Tafsîr karya
Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kaitannya dengan pembentukan kata, makna
intrinsik, dan isyarat-isyarat batin dari ayat.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Syuhbah, Muhammad ibn Muhammad, al-Isrā´īliyyāt
wa al-Mawdhū’āt fī Kutub al-Tafsīr, (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1408 H),
cet. IV.
Arsyif Multaqa Ilmu Tafsir 1. Juz 1, dalam program CD al-Maktabah
al-Syāmilah, versi 3.1.
Muhammad Husayn Al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn,
Jilid 4, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
Muhammad Yusuf Dkk, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan
Teks Yang Bisu. Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2004.
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an:
Perkenalan dengan Metodologi Tafsir. Bandung: Penerbit Pustaka, 1987..
Nashruddin Al-Baidhawi, Tafsir Al-Baidhawi. Juz V,
dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
Shihab M. Quraish, Membumikan Al-Qur'an. Bandung,
Mizan, 2002.
Mahmud, Mani’ Abd Halim, Metodologi Tafsir: kajian
konprehensif metode para ahli tafsir. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2006.
[1] Nashruddin
Al-Baidhawi, Tafsir
Al-Baidhawi. Juz V, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
[2] Abu
Syuhbah, Muhammad ibn Muhammad,
al-Isrā´īliyyāt wa al-Mawdhū’āt fī Kutub al-Tafsīr, (Mesir: Maktabah
al-Sunnah, 1408 H), cet. IV.
[3] Mahmud, Mani’ Abd
Halim, Metodologi
Tafsir: kajian konprehensif metode para ahli tafsir. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2006.
[4] Muhammad Husayn
Al-Dzahabī, al-Tafsīr wa
al-Mufassirūn, Jilid 4, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi
3.1.
[5] Nashruddin Al-Baidhawi, Tafsir Al-Baidhawi. Juz V,
dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
[6] Muhammad Husayn
Al-Dzahabī, al-Tafsīr wa
al-Mufassirūn, Jilid 4, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi
3.1.
[7] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an:
Perkenalan dengan Metodologi Tafsir. Bandung: Penerbit Pustaka, 1987..
[8] Abu Syuhbah, Muhammad
ibn Muhammad, al-Isrā´īliyyāt
wa al-Mawdhū’āt fī Kutub al-Tafsīr, (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1408 H),
cet. IV.
[9] Ibid
[10] Muhammad Yusuf Dkk, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan
Teks Yang Bisu. Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2004.
[11] Nashruddin
Al-Baidhawi, Tafsir
Al-Baidhawi. Juz V, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
[12] Mahmud, Mani’ Abd
Halim, Metodologi
Tafsir: kajian konprehensif metode para ahli tafsir. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2006.
ijin mempelajarinya ka
ReplyDeletedan termakasih sudah posting muatan tulisan yang bermanfaat ini.
ijin mempelajarinya ka
ReplyDeletedan termakasih sudah posting muatan tulisan yang bermanfaat ini.
minta izin untuk disebarkan
ReplyDelete